“Misr Umm al-Hadlarah wa al-Tsaqafah” (Ibu peradaban dan kebudayaan). Itulah mungkin pernyataan yang seringkali diungkapkan dengan sangat PD oleh sebagian orang Mesir. Dari peryataan tersebut ada dua hal yang dapat kita simpulkan. Pertama, kalau kita sepakat dengan pernyataan di atas, berarti Mesir pernah “hamil” dan melahirkan peradaban dan budaya. Sebab biasanya seorang gadis tidak akan disebut sebagai ibu kecuali sesudah bersuami dan melahirkan anak. Kedua, dalam sejarah disebutkan bahwa Mesir adalah peradaban tertua di dunia. Bahkan Al-Azhar yang kita kenal adalah Universitas tertua dan telah banyak melahirkan ulama-ulama terkenal.
Sekarang timbul pertanyaan, kalau memang Mesir adalah ibu peradaban, kenapa kita mesti melihat bangunan seperti kardus-kardus berjejer? Kalau memang Mesir adalah ibu budaya, kenapa kita mesti sering menyaksikan orang kencing di tembok-tembok?Lalu, kenapa Al-Azhar yang dianggap sebagai universitas tertua di dunia masih menggunakan cara-cara lama?
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas kita dapat menemukan jawaban sebagai berikut. Pertama, dalam kaitannya dengan peradaban, orang Mesir masih menghargai hasil jerih payah para pendahulunya. Sehingga mereka membiarkan saja bangunan-bangunan kuno tanpa sidikitpun berinisiatif mengadakan perubahan. Kalau kita sering jalan-jalan, atau mau sedikit “gaul”, kita akan menjumpai masjid-masjid yang ada di negeri Kinanah ini, rata-rata masih merupakan bangunan kuno dengan warna kuning lusuh. Nampaknya mereka menunggu sampai bangunan-bangunan kuno tersebut runtuh dengan sendirinya. Sedikit sekali orang Mesir yang berani mengotak-atik struktur bangunan-bangunan tersebut.
Kedua, Mesir adalah ibu peradaban dan merupakan peradaban tua atau bahkan tertua. Kalau kita tinjau secara mendetail, kata “ibu” dan “tua” apabila digabung dalam sebuah kalimat positif, maka akan menjadi “ibu tua” atau “ibu yang sudah tua”, apalagi kalau ditambah dengan kata “tertua”, sudah pasti akan berarti “ibu yang sudah tua sekali”. Ada pepatah, bahkan Tuhan sendiri secara implisit menyatakan dalam kitab magnum opus-Nya (al-Qur’an) bahwa orang kalau sudah memasuki masa tua atau usia senja, maka semua panca indra beserta seluruh komponen tubuh lainnya akan kurang berfungsi secara maksimal seperti pada masa mudanya, semakin tua semakin berkurang sehingga akan mencapai titik klimaks yaitu “pikun”. Di mana pada masa muda dulu, tulang-tulangnya masih sehat dia bebas berlari ke sana ke mari, tapi kali ini dia harus berjalan pakai tongkat atau mungkin merangkak. Malah ada yang mau ke WC harus dipapah oleh anak dan cucunya. Bahkan ada yang sampai tidak bisa jalan, dan tidak aneh kalau kemudian kencing atau buang air besar di sembarang tempat. Di kala muda dulu, di saat telinganya masih berfungsi dengan baik, dia bebas mendengar apa saja, bisa mendengarkan ceramah, nyanyian dan lain-lain, tapi sekarang, di saat dia pikun, dia tidak lagi mendengar dengan jelas. Ada orang menyapa dari jarak lima meter walau sampai berkali-kali, belum tentu dia mendengar. Baru kalau diteriakin keras-keras tepat di dekat kupingnya “eeh”, mungkin dari saking kagetnya dia akan menjawab “aah”. Kala muda dulu, dengan matanya yang berbinar-binar (bagi yang tidak minus) dia bebas melihat apa saja. Dia bisa merasakan betapa enaknya melihat dan menikmati indahnya panorama pegunungan di pagi hari. Tapi di masa pikunnya, dia tidak bisa seenaknya.
Nah, pada masa-masa inilah orang yang sudah tua sekali, bisa kembali seperti bayi. Saya kira para pembaca sudah sangat tahu bagaimana tabiat bayi. Dalam hal ini, saya kira tidak jauh beda dengan apa yang menimpa Mesir. Mesir sebagai peradaban tertua mungkin saat ini sudah memasuki masa-masa pikun. Dengan demikian, kita tidak perlu merasa heran bila bangunan-bangunan yang ada itu kumuh bin kuno. Kita juga tidak perlu merasa heran kalau ada orang Mesir buang air kecil atau air besar sembarangan, sehingga mengakibatkan bau di mana-mana. Ibarat kita sedang berhadapan dengan seorang bayi dan orang tua yang sudah pikun. Kedunya hampir sama, hampir tidak ada bedanya. Bedanya mungkin hanya umur, sedangkan tingkah lakunya hampir sama. Biarkan saja orang Mesir itu, mau kencing kek, mau makan Esy yang sudah diinjak-injak kek, terserah, kita tidak usah marah-marah. Cukuplah bagi kita memahaminya.
Ketiga, dalam sejarah disebutkan bahwa ketika Muhammad Ali Al-Kabir memimpin Mesir (1805-1849), maka ambisi pertamanya adalah berusaha mengejar ketertinggalan peradaban Mesir dari Eropa Barat. Secara berpikir panjang, akhirnya dia memutuskan untuk mengirim beberapa anak-anak negeri yang cerdas-cerdas ke Prancis guna menimba ilmu-ilmu modern dan dapat berkenalan dengan peradaban yang sudah mapan. Untuk merealiasikan niatnya itu, maka dipilihlah beberapa orang yang semuanya terdiri dari mahasiswa terbaik Al-Azhar. Setelah mereka kembali ke Mesir dengan membawa bekal ilmu-ilmu modern dan sudah cukup puas berkenalan dengan warna-warni peradaban, budaya, sastra dan seni serta membawa tradisi-tradisi baru, maka Muhammad Ali Al-Kabir meminta mereka untuk menangani urusan-urusan negara, seperti administrasi, meliter, dan intelektual. Dengan begitu mereka dekat dengan pemerintah, sehingga terbukalah jalan untuk mendapatkan kekuasan, harta dan kebahagiaan.
Namun yang namanya manusia pasti memiliki keterbatasan, lulusan-lulusan Al-Azhar lainnya yang tidak mempunyai kesempatan emas untuk belajar di Prancis, merasa cemburu dan iri dengan keberuntungan tersebut. Bagaimana tidak, mereka merupakan masyarakat menengah ke bawah yang seringkali ditimpa kesusahan. Sementara kawan-kawan mereka —yang lulusan Prancis— telah menjadi pejabat tinggi negara dengan bergelimang harta. Kecemburuan sosial semacam ini telah membawa konsekuensi yang sangat memprihatinkan, yaitu konflik antar kelas. Awalnya memang tidak begitu kentara, tetapi lama-kelamaan semakin menghangat. Dalam konflik ini, mereka yang berada di kelas menengah ke bawah mengklaim kawan-kawan mereka yang berada pada kelas atas dan duduk di pemerintahan sebagai kaum “westernis” atau “kebarat-baratan” yang jauh dari budaya ketimuran, jauh dari ajaran Islam, bahkan menjadi antek-antek pemerintah. Maka kemudian, terjadilah penentangan terhadap mereka yang merupakan produk “Barat”, sebagai mana juga terjadi penolakan terhadap metode-metode pengajaran dan materi modern. Mulai saat inilah timbul pemisahan antara Islam dan peradaban. Sehingga mereka para kaum mutahaddlir (kaum berperadaban) lulusan Eropa dianggap sebagai musuh bagi Islam dan masyarakat, bahkan dianggap agen musuh bebuyutan Islam yaitu “Barat”.
Sikap yang berlebih-lebihan dari Al-Azhar beserta orang-orangnya, yaitu pemboikotan terhadap materi dan metode-metode pengajaran modern, di samping juga kekukuhan mereka terhadap cara-cara pengajaran tradisional, sebenarnya telah membuat mereka menjadi pelopor bagi terciptanya konflik sosial. Sebab setelah mengetahui hal itu, pemerintah berinisiatif mendirikan sekolah-sekolah umum dengan materi-materi baru seperti fisika, matematika, sejarah serta materi umum lainnya dan dilengkapi fasilitas modern. Sementara sekolah-sekolah agama seperti Al-Azhar dengan sistem lamanya hanya sebatas mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan agama saja, misalnya fiqih, tafsir, hadis dan lain-lain. Sejak saat inilah terjadi pemisahan antara sekolah umum dan sekolah agama. Sekolah umum bagi orang-orang kaya sebab biayanya mahal, sedangkan sekolah agama diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah atau orang-orang miskin, karena biayanya tidak mahal, bahkan ada yang gratis.