**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Monday, March 27, 2006
Menggapai Matahari


“Tuhan itu ada karena aku ada” (Filosuf)

Tuhan, bagaimanapun tetaplah Tuhan yang maha segala-galanya. Namun eksistensi dan semua sepak terjang-Nya di muka bumi ini tidaklah begitu berarti tanpa mendapat pengakuan dari manusia dan alam semesta, walaupun Tuhan sendiri tidak butuh dengan pengakuan.

Dalam sebuah hadits kudsi terkenal, Nabi menjelaskan mengapa Tuhan menciptakan kosmos atau alam semesta “Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu 'an u'raf fa khalaqtu al-khalqa li-kay u'raf". Hadits ini secara harfiah berarti, "Aku adalah khazanah tersembunyi dan Aku ingin diketahui. Karena itulah Aku menciptakan makhluk agar Aku dapat diketahui". Oleh karenanya, dunia adalah lokus atau tempat di mana khazanah tersembunyi diketahui oleh makhluk. Melalui alam semesta, Tuhan bisa diketahui. Dan karena di alam semesta ini yang ada hanya ciptaan-Nya, maka ciptaan-ciptaan itu sendirilah yang memberi tahu ihwal adanya khazanah tersembunyi. Melalui kosmos juga, Tuhan memperkenalkan diri-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya. Makhluk-makhluk itu sendiri merupakan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan.

Tujuan utama diturunkannya semua agama di muka bumi ini adalah untuk mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Sungguh merupakan suatu kesalahan besar kalau ada anggapan yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah "menyembah" Tuhan. Pandangan semacam ini kiranya merupakan kesalahan penafsiran terhadap salah satu ayat Al-Qur'an yang berbunyi "Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun", dan tidaklah aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk menyembahku'. Ayat ini, jika dipahami secara tekstual dapat berarti bahwa agama itu tak lain hanya merupakan sarana untuk menundukkan manusia. Manusia seolah-olah merupakan ancaman bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Manusia seolah-olah adalah makhluk yang sangat kotor, hina, liar dan jahat sehingga perlu dijinakkan karena dianggap mengganggu stabilitas kesucian dan keamanan dunia.

Nampaknya, kita perlu mempertanyakan kembali kebenaran penerjemahan kata "ibadah" sebagai penyembahan dalam ayat di atas. Sebab, penyembahan mempunyai makna negatif dan mengandung kekurangan, yaitu bahwa kata tersebut menunjukkan sikap terlalu merendahkan diri di hadapan suatu kekuatan yang lebih tinggi dan tidak mengandung kesetiaan sukarela. Pendek kata, pandangan tersebut telah mereduksi peran manusia sebagai khalifah dan serta merta menjadikannya sebagai sesuatu yang teramat kerdil di hadapan Tuhan semesta alam.

Penyembahan mengandaikan bahwa Tuhan sebagai objek yang disembah seolah-olah merupakan benda mati. Penyembahan selalu merupakan proses yang hanya bertepuk sebelah tangan, —mengutip tulisan Ulil Abshar-Abdalla— proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagai hubungan "I-it", "aku-dan-Dia". Tuhan, dalam kerangka penyembahan semacam itu, telah "dibendakan". Tuhan yang disembah adalah Tuhan yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap dan tak bergerak, maka inilah telak kesalahan itu, dan seharusnya tidaklah demikian. Hubungan yang tepat antara manusia dan Tuhan adalah hubungan dalam kerangka "I-Thou", aku-Engkau. Jadi arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan dalam model "I-Thou"; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal yang kreatif dan produktif. Dan hubungan antara keduanya tak akan ada artinya jika manusia tidak diletakkan sebagai subjek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara aktif dan leluasa. Al-Quran dengan tegas mengatakan, "Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur", jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya.

Seiring dengan perjalanan waktu, Tuhan yang sejak pertama merupakan daerah tak terlarang, kini telah menjadi sesuatu yang tak boleh disentuh, terpasung dengan tumbuh dan berkembangnya institusi-institusi agama maupun organized religion (agama yang diorganisasikan). Dari sinilah kemudian muncul dogma, kategorisasi kesesatan, anggapan kafir, klaim kebenaran (claim of truth), klaim keselamatan (claim of salvation). Sehingga segalanya kaku dan beku ibarat salju yang terdapat di kutub utara.

Sementara ini, umat beragama, khususnya umat Islam menganggap bahwa konsep ketuhanan —yang jatuh begitu saja tanpa melalui proses— dari nenek moyang mereka adalah sesuatu yang sangat sakral, sehingga melahirkan klaim-klaim. Celakanya, kalau terdapat pemahaman berbeda, ada yang secara lancang dan merasa berhak untuk mendiskriminasi pemahaman orang lain. Bahkan merasa berhak untuk memberikan label atau cap. Sebagai konsekuensinya, agama saat ini hanya memiliki potensi untuk menindas kebebasan manusia. Kalau sudah begini, jangan heran kalau nanti agama akan kehilangan banyak pemeluknya. Maka selama agama terlalu ketat dalam menggambarkan teologi dan tidak peduli terhadap masalah-masalah kemanusiaan, selama itu pula agama akan mengalami krisis. Dan sejauh itu pulalah agama akan ditinggalkan dan tidak akan relevan lagi.

Kita memang maklum bahwa Tuhan adalah sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa dirumuskan melalui rasio, dan kita sangat membenarkan pendapat itu. Namun sebagai makhluk yang memiliki keistimewaan tersendiri, manusia juga ingin berbicara mengenai Tuhan sebagai penciptanya. Bahkan Tuhan sendiri menyuruh kita agar lebih mengenal dengan banyak membaca tanda-tanda kebesaran-Nya. Meskipun kalau terlalu dipaksakan, kita akan terjerembab ke dalam antroposentrisme. Namun kita tidak perlu sungkan, sebab Tuhan yang kita bicarakan dan kita pikirkan itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya, hanya Tuhan dalam konsep kita, konsep manusia. Apalagi sekarang memang sudah banyak konsep tentang Tuhan yang berkembang.

Jika demikan, mengapa kita menjadi begitu phobi dan takut memikirkan Tuhan?. Apakah kira-kira tuhan itu takut terhadap rasio manusia yang telah diciptakan-Nya sendiri? Tuhan bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan ada bukan untuk tidak dipikirkan eksistensi-Nya. Kita ingin berbicara dengan-Nya dalam suasana bebas, dengan hati dan otak yang bebas pula. Kita ingin menggunakan kemampuan daya pikir dengan sepenuh-penuhnya kemampuan. Apakah ini salah?.

Sesungguhnya orang yang mengakui adanya Tuhan namun menolak memikirkan-Nya berarti —menurut Ahmad wahib— telah menghina rasionalitas eksistensi-Nya. Tuhan itu segar, hidup, tidak beku dan tidak mau dibekukan. Walaupun ada semacam kekhawatiran, bila memikirkan Tuhan terlalu jauh, bisa menggiring dan menjerumuskan kita ke dalam jurang ateisme. Apakah benar demikian? Orang yang tidak berpikir sama sekalipun juga bisa menjadi ateis. Lalu mana kira-kira yang lebih potensial antara menjadi ateis karena berpikir dan menjadi ateis karena tidak berpikir? Apakah kita rela mati dalam keadaan penasaran? Apakah Tuhan tidak "cemburu" ketika manusia sudah mampu menggapai serta menyingkap rahasia yang terkandung dalam matahari, sementara Dia sendiri tidak pernah mendapat ruang untuk dipikirkan, bahkan terlupakan?

 
posted by Roland Gunawan at 4:32 AM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"