Ada hal menarik dari momen Hari Raya Kurban Tahun ini, tiba beberapa hari setelah 'peringatan' Tahun baru hari ahad kemarin. Sebelum momen Hari Raya, ada momen lain yang juga mempunyai makna tak kalah signifikan, yaitu Hari Arafah, di mana para jama`ah Haji berkumpul di padang Arafah. Hal ini jangan hanya dilihat dengan perspektif yang sederhana, tetapi ada hikmah yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Kalau boleh dikatakan, ini sebenarnya merupakan isyarat dari Tuhan, bahwa manusia tidak hanya dituntut untuk membaca ayat-ayat tertulis (kitab suci), melainkan juga perlu membaca ayat-ayat tak tertulis berupa alam dengan segala benda dan peristiwa yang terjadi. Seringkali Tuhan memberikan isyarat semacam ini, misalnya pada tahun 2004, momen Tahun Baru Hijriah hampir bersamaan dengan Valentine Day. Tahun Baru Hijriah mencerminkan perjuangan untuk berubah menjadi lebih baik, sedangkan Valentine Day mencerminkan cinta. Apa hubungannya? Perjuangan adalah badan, dan cinta adalah ruhnya. Adakah orang berjuang tanpa cinta sebagai spirit yang mendorongnya? Adakah badan bergerak tanpa ruh? (baca: Getar Asmara di Awal Tahun Hijrah, Antara Tahun Baru Hijriah dan Valentine Day).
Tahun Baru kali ini memberi peringatan bahwa kita harus memperbaharui niat dan semangat dalam hidup. Hari Arafah memberi peringatan bahwa kita harus selalu melakukan introspeksi diri. Sedangkan Hari Raya Kurban memberi peringatan bahwa, setelah kita melakukan introspeksi diri dan memiliki niat serta semangat baru, kini tibalah saatnya kita untuk mewujudkannya dengan berkorban dan berjuang dalam arti yang sebenarnya.
Perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim menyembelih putra terkasihnya, Ismail, sebenarnya hanya sekedar untuk memperlihatkan kepada semua manusia betapa kesetiaannya kepada Tuhan. Sehingga ia rela mengorbankan apapun, bahkan mengorbankan putra yang paling ia cintai. Tidak seperti anggapan banyak orang selama ini, yaitu menguji kesetiaan. Sebab yang namanya seorang Nabi pastilah berada di bawah bimbingan Tuhan, sehingga tidak perlu diuji lagi kesetiaannya, dan Tuhan tidak mungkin mengutus seorang Nabi tanpa terlebih dahulu 'diisi' dengan bekal yang memadai. Apalagi Tuhan sendiri menegaskan dalam sebuah hadis Qudsi-Nya, "....Aku menjadi tangan yang ia gunakan untuk memegang, Aku menjadi mata yang ia gunakan untuk memandang, Aku menjadi telinga yang ia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi kaki yang ia gunakan untuk melangkah."
Di samping itu, ada hal lain yang perlu dijadikan sebagai pelajaran. Bahwa ketika Ismail menyerahkan diri untuk dikorbankan, ketika pedang Nabi Ibrahim menempel di lehernya, secara tiba-tiba Tuhan pun melarang, padahal ini adalah perintah-Nya sendiri. Isyarat apa ini? Kalau mau merenung, kita akan menemukan bahwa sebenarnya hal ini merupakan isyarat dari Tuhan kepada orang-orang yang suka melakukan Istisyhad, teror atau Intihar (membunuh diri) yang marak terjadi akhir-akhir ini, bahwa mengorbankan jiwa demi sesuatu tujuan yang tidak jelas, itu dilarang oleh agama. Saya tidak hendak mengatakan bahwa ketika Ismail rela mengorbankan diri mempunyai tujuan tidak jelas, sama sekali tidak. Tujuan Ismail jelas sekali, memenuhi perintah Tuhan, yang tentu saja ganjarannya adalah Surga. Sebab, mana ada seorang Nabi yang tidak akan masuk Surga?
Lain halnya dengan kaum Mustayhid, teroris atau Muntahir, tujuan mereka tidak jelas. Apakah dengan melakukan teror mereka bertujuan memenuhi perintah Tuhan untuk kejayaan Islam? Lalu siapa yang akan menjamin mereka masuk Surga? Untuk menjawab ini, nampaknya kita perlu menengok ke belakang melihat sejarah masa Nabi Muhammad Saw. Di kala ada beberapa tentara Islam meninggal di medan perang, Nabi langsung memberikan justifikasi, "Mereka ini mati syahid, dan akan menjadi penghuni Surga." Ini dilakukan Nabi karena tentara Islam pada waktu itu berangkat dari sebuah keyakinan, bahwa apa yang mereka lakukan demi kejayaan dan kemajuan Islam. Terbukti setelah itu, Islam berhasil menguasai, tidak hanya semenanjung Jazirah Arab, melainkan juga daerah-daerah luar yang kala itu merupakan pusat-pusat peradaban. Jadi, perjuagan dan pengorbanan mereka ada bukti sognifikatifnya bagi Islam. Makanya, sebagai seorang yang mendapatkan Mukjizat dari Tuhan, Nabi dengan mantap mengatakan, "Mereka mati syahid, dan akan menjadi penghuni Surga."
Adapun kaum Mustasyhid, teroris atau Muntahir, tidak bisa disamakan dengan tentara Islam di masa Nabi. Saya malah berani mengatakan bahwa bahwa mereka tidak berangkat dari sebuah keyakinan, tetapi berangkat dari keputus-asaan. Beda antara orang yang yakin dengan orang yang putus asa. Orang yang yakin memiliki modal kekuatan yang sudah pasti. Sebaliknya, orang yang putus asa adalah orang lemah, ia melihat seolah-olah di hadapannya sudah tidak ada jalan lain, kemudian ia memili jalan pintas, menghalalkan segala cara. Tuhan memberikan peringatan keras kepada orang yang putus asa, "Janganlah kamu sekali-kali berputus-asa akan nikmat Tuhan, karena sesungguhnya tiadalah orang yang berputus-asa melainkan hanya orang-orang kafir." Orang yang putus asa biasanya rela menjadi lilin, berkorban tapi mencelakan diri sendiri. Dalam al-Qur'an ditegaskan, "Janganlah sekali-kali kamu mencelakan diri sendiri." Lilin, walaupun dirinya celaka, tapi masih membawa manfaat bagi manusia. Sementara kaum Mustasyhid, teroris atau Muntahir, selain mencelakakan diri sendiri, juga merugikan orang lain yang mungkin tidak berdosa (lihat misalnya tragedi WTC, berapa banyak korban tak berdosa jatuh). Lebih parah lagi, bukan membuat Islam lebih berwibawa di mata dunia, tetapi malah menjadikannya sebagai agama yang menakutkan dan seram, bak raksasa yang haus akan darah. Kalau sudah begini, masihkah kita memberikan semacam jaminan bahwa para Mustasyhid, teroris atau Muntahir akan mendapat ganjaran Surga dari Tuhan?
Makanya, dengan semangat Tahun Baru, mari kita tumbuhkan semangat baru. Dengan semangat Hari Arafah mari kita mengkaji diri, sudahkah lebih baik dari hari kemarin? Dengan semangat Hari Raya Kurban mari berjuang demi menggapai cita-cita dan harapan yang tergantung di cakrawala.
Catatan Muslim Liberal
(Kiyai Khos Afkar NU)