**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Sunday, October 29, 2006
Menyegarkan Kembali Pemahaman terhadap Islam*
Dr. Ahmad Syauqie al-Fanjary **

Sebagai kitab suci al-Qur’an al-Karim telah dijaga oleh Tuhan dari segala bentuk penyimpangan (tahrîf) atau campur tangan manusia (tadakhkhul min al-basyar). Hal itu dibuktikan dengan janji Tuhan sendiri dalam surat al-Hajar: “Kami telah menurunkan al-dzikr (al-Qur’an), dan kami [akan senantiasa] menjaganya.” Pada fase pertama wahyu ditulis dan dicatat [berdasarkan apa yang didengar] dari Rasulullah secara langsung. Untuk menghindari terjadinya kesalahan atau kelupaan, Jibril As. bersama Rasulullah Saw. melakukan pemeriksaan terhadap apa yang sudah ditulis itu. Hal ini tentu saja berbeda dengan hadis.



Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Tuhan, di setiap seratus tahun, mengutus untuk umat ini seseorang yang memperbaharui agamanya.” [HR. Bukhari – Muslim]. Ini merupakan hikmah besar yang tidak dimiliki agama lain selain Islam, yaitu keterbukaannya bagi pembaharuan (qâbilyyah li al-tajdîd). Pembaharuan di sini mempunyai makna ijtihad dalam melakukan perubahan (taghyîr), harmonisasi (al-tawfîq) dan modernisasi (al-tahdîts) guna menyelaraskan pemahaman-pemahaman keagamaan dengan pergeseran waktu, serta kebutuhan manusia yang berbeda-beda dari zaman ke ke zaman, dari masa ke masa, dari masyarakat ke masyarakat yang lain.

Jika agama-agama mengalami penjumudan dan tidak bisa mengikuti laju perkembangan zaman, maka manusia akan meninggalkannya seperti yang terjadi pada Kristen yang hanya menjadi agama gereja, bukan agama yang dianut dalam kehidupan secara umum. Eropa tidak bisa bangkit, tidak mampu keluar dari kegelapan abad-abad pertengahan dan cengkraman ‘kuku-kuku tajam’ para pendeta serta surat-surat pengampunan (shukûk al-ghufrân) kecuali ketika mendeklarasikan ajaran berupa pemisahan agama dari negara dan kehidupan (fashl al-dîn `an al-dawlah wa `an al-hayâh). Kemudian setelah itu Eropa mampu bergerak dengan leluasa ke arah peradaban dan ilmu pengetahuan yang bebas, tanpa batasan, tanpa ikatan.

Lalu, bagaimana dengan Islam?! Seorang Muslim berakal, paham dan tahu yang menghendaki kebaikan bagi agama ini tidak akan bisa mengingkari bahwa sekarang Islam sedang berada dalam fase kemunduran dan keterbelakangan yang parah, disebabkan oleh pemahaman-pemahaman salah serta keyakinan-keyakinan menyimpang yang secara sengaja dimasukkan untuk kemudian berakumulasi, saling timpah tindih hingga mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Mamalik. Lalu berlanjut pada pemerintahan Utsmaniyah, kemudian imperialisme asing. Sehingga dengan demikian, dalam pandangan dunia secara keseluruhan dan para pengikut agama-agama lainnya, seorang muslim merupakan cerminan dari manusia tolol dan bodoh yang mempercayai khurafat-khurafat dan menjalankannya. Keras, teroris dan haus darah merupakan sifat-sifat yang disematkan kepadanya.

Di dunia Islam, kaum buta huruf dari kaum laki-laki sudah mencapai 75%, dan dari kaum perempuan mencapai 80%. Pemuda Muslim yang taat melihat agama sebagai jenggot, jilbab, kerudung. Sedangkan pemudinya melihat agama sebagai niqab, kerudung dan hijab. Padahal para pemuda dunia dan agama-agama lain hidup dengan teknologi modern, mereka berlomba-lomba dalam berkreasi dan berinovasi, tak henti-hentinya melakukan riset penemuan-penemuan ilmiah dalam segala bidang, baik kedokteran maupun teknik, serta mengembangkan ilmu-ilmu luar angkasa dan planet-planet lainnya.

Sementara dalam Islam, pada saat kita hidup di abad ke-21, telah muncul kelas pemuka agama (rijâl al-dîn) yang tak ada bedanya dengan para dukun pada abad-abad pertengahan di Eropa, di mana pengetahuan mereka hanya cukup membaca kitab suci dan menulis. Kemudian mereka mengeluarkan fatwa-fatwa keterbelakangan dan kebodohan yang menyesatkan kaum Muslimin dari jalur perputaran roda peradaban dan kehidupan modern. Konsekuensi yang muncul cukup mengerikan, membuat wajah Islam menjadi buruk dan pelbagai kekalahan melanda kaum Muslimin, bahkan tanah-tanah mereka dijajah oleh para musuh.

Pemikiran-pemikiran dan fatwa-fatwa keterbelakangan (al-afkâr wa al-fatâwâ al-mutakhallifah) itu mencakup segala sesuatu di dalam kehidupan kaum Muslimin, mulai dari sistem pemerintahan, menejemen negara hingga prilaku individu dan bangunan rumah tangga. Mereka, para pemuka agama itu, mengharamkan demokrasi dan oposisi. Mereka mengklaim bank-bank adalah haram, semua kekayaannya adalah riba...pariwisata haram, darah para touris halal, dan segala bentuk kesenian haram. Gambar haram, patung-patung indah haram. Sinema haram, teater haram, sekalipun itu demi kepentingan Islam, bahkan mereka mengharamkan film Rasulullah Saw., yang mengisahkan tentang kehidupan Nabi dengan penuh amanah dan kejujuran. Mereka berlomba-lomba mengeluarkan fatwa dengan maksud memaksa perempuan dan merampas hak-haknya yang telah Islam berikan. Perempuan tidak boleh keluar melainkan hanya ke kuburan. Mereka membatasi peran perempuan dalam kehidupan hanya untuk melayani suami dan mengurus anak-anak...malah mengemudi mobil pun haram.

Dalam pandangan pemuda Muslim, yang sejatinya merupakan harapan masa depan, makna jihâd fî sabîlillah (berjuang di jalan Tuhan) adalah dengan mengabaikan ilmu pengetahuan, berhenti belajar di universitas, memanjangkan jenggot, duduk di masjid sepanjang hari bersama sahabat-sahabatnya yang juga berjenggot seperti dirinya, mendengarkan hadis-hadis yang mendorong pada ekstremisme, kebencian terhadap dunia serta kemurkaan pada masyarakat [yang menurutnya telah menyimpang dari jalan Tuhan]. Dia bersama teman-temannya melakukan itu dengan penuh semangat dan antusiasme yang tinggi, mereka memulai pelajaran dengan membuat bahan peledak dan mesiu, serta bagaimana cara meletakkan bom-bom di dada dan di perutnya. Apa tujuan ‘luhur’ mereka melakukan itu? Tujuannya adalah membunuh para touris sebanyak-banyaknya, juga para warga yang bekerja di bidang pariwisata, karena sang Syaikh berfatwa bahwa pariwisata haram, dan darah para touris halal.

Itulah makna jihâd fî sabîlillah. Satu contoh yang bisa dijadikan bahan renungan adalah ketika seorang pemuda meledakkan dirinya di tengah-tengah segerombolan touris di daerah al-Azhar, sehingga enam orang dari mereka dan sejumlah pedagang serta beberapa orang yang kebetulan lewat di tempat itu terbunuh. Setelah beberapa jam kemudian terjadilah peristiwa lain yang tidak kalah mengejutkan, beberapa perempuan berniqab melemparkan bom-bom dari atas jembatan al-Azhar ke arah para touris dan kerumunan manusia. Dan ketika polisi tiba di tempat itu, setiap orang dari perempuan-perempuan berniqab itu mengeluarkan pistol lalu menembakkannya tepat di kepala temannya, sehingga matilah mereka. Kenapa mereka melakukan itu kepada teman sendiri, kenapa tidak bunuh diri saja: karena menurut pemahaman mereka tindakan bunuh diri adalah haram, sedangkan membunuh adalah halal di jalan Tuhan.

Ketika diteliti, ternyata anak muda [yang melakukan bom bunuh diri] tersebut adalah mahasiswa di fakultas teknik yang berprestasi dalam studinya sebelum dia menjadi ekstrem dalam beragama. Diketahui bahwa dia gemar membaca buku-buku karya orang-orang Wahabi seperti Ibn Baz, Ibn Atsimin, Syaikh Umar ibn Abdirrahman, Syaikh Kasyk dan lain-lain. Diketahui juga, setelah membaca buku-buku tersebut, anak muda itu kemudian melarang perempuan-perempuan untuk melihat dari jendela, melarang mereka untuk berbaur dengan kaum laki-laki ketika belajar (ikhthilâht fî al-ta`lîm), melarang mereka menghidupkan televisi kecuali untuk mendengarkan khatbah Jum`at, mereka tidak boleh keluar dari rumah kecuali dengan muhrim.

Kenyataan seperti itu tidak jarang dalam masyarakat Islam kontemporer, juga bukan hal yang langka di tengah-tengah para pemuda Muslim yang sejatinya diharapkan menjadi generasi masa depan. Peristiwa-peristiwa pembunuhan terhadap para touris terjadi berulang-ulang setiap tahun sejak seperempat abad yang lalu, sejak munculnya fatwa-fatwa tentang pengharaman pariwisata. Ini menunjukkan betapa pemikiran menyimpang sudah menguasai generasi muda Muslim.

Kita katakan kembali, saat ini Islam sangat perlu untuk diselamatkan dan dipembaharui. Kita perlu melakukan ijtihad seluas-luasnya tanpa merasa terikat untuk menghilangkan hadis-hadis palsu (al-ahâdîts al-mawdhû`ah) yang membawa pemikiran-pemikiran yang salah dan jumud, serta pemahaman-pemahaman menyimpang yang secara sengaja dimasukkan kepadanya.

Kalau upaya tersebut tidak dilakukan secepatnya, maka agama ini akan pergi meninggalkan kita, dan jadilah kita umat yang tidak memiliki identitas, masa kini dan masa depan.


Siapa yang Menutup Pintu Ijtihad?

Seperti diketahui, pintu ijtihad dalam Islam sudah ditutup sejak seribu tahun yang lalu atau lebih. Sebetulnya, selama masa yang panjang ini, tidak ada undang-undang, dektrit atau titah dari para penguasa yang melarang ijtihad dalam agama. Tertutupnya pintu ijtihad sebenarnya lebih disebabkan oleh tidak adanya ulama yang mumpuni untuk mengisi kekosongan ini. Bersamaan dengan melemahnya dinasti Abbasiyah, muncullah pemerintahan Mamalik, kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Utsmaniyah, setelah itu imperialisme asing menguasai. Mereka semua tidak punya perhatian terhadap pendidikan, bahkan mereka berusaha menutup sekolah-sekolah yang ada. Al-Azhar dibekukan, dan pendidikan di dunia Islam, secara keseluruhan, hanya dibatasi pada menulis dan menghafal al-Qur’an.

Demikianlah kegelapan menguasai dunia Islam, kebodohan mendominasi, tidak ada seorang ulama pun yang nampak, yang ilmunya menyamai para ahli fikih (syariat) dan para Imam mazhab di masa klasik. Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan menariknya dari hati manusia, Dia mencabut ilmu dengan menarik para ulama. Ketika tidak ada seorang alim pun [yang muncul], manusia kemudian menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, mereka bertanya kepadanya dan mempercayainya, sehingga mereka [benar-benar] tersesat dan tersesat. (HR. Bukhari). Inilah rupanya yang membuat kaum Muslimin menutup pintu ijtihad karena takut kepada pemimpin-pemimpin bodoh yang seringkali muncul tapi tak berilmu.

Makna hadis dan tujuan-tujuannya:
Pertama, melakukan penafsiran baru terhadap al-Qur’an. Sudah kita sebutkan beberapa penafsiran menyesatkan dan salah yang datang dari musuh-musuh Islam berikut Isrâ‘iliyyât. Banyak sudah penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang bodoh dari kaum muslimin, seperti telah kita sebutkan contohnya, dan yang paling berbahaya adalah ketika mereka membuat hadis-hadis bohong (al-ahâdîts al-makdzûbah) yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an sesuka hatinya untuk kemudian berusaha meyakinkan manusia bahwa itu adalah penafsiran Rasulullah.

Kedua, membuang hadis-hadis palsu (al-ahâdîts al-mawdhû`ah) dari seluruh referensi-referensi, sekalipun itu dalam kitab Bukhari dan Muslim. Telah kita lihat, berdasarkan pendapat para tokoh ulama Islam yang mengetahui bahaya hadis-hadis palsu tersebut, juga para tokoh yang memiliki cukup keberanian serta ilmu yang mumpuni agar mengumpulkan kitab-kitab hadis lama yang dipenuhi hadis-hadis palsu untuk dimusnahkan atau dibakar. Kemudian menyusun kitab-kitab lain yang kosong dari segala bentuk kepalsuan dan penyimpangan.

Ketiga, membuang fikih lama yang berdasar pada mazhab yang lima, dari Ahl Sunnah dan Syi`ah, kemudian merumuskan fikih baru yang terbebas dari hadis-hadis palsu dan pandangan-pandangan menyimpang. Kita inginkan yang menjadi tim perumusnya tidak hanya dari para pakar fikih, tapi juga dari para ilmuan yang pakar ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu kontemporer, dan diharapkan pandangan yang muncul nantinya tidak bersifat pribadi, tapi bersifat kolektif.


Upaya-upaya Pembaharuan

Saat ini, di dunia Islam telah muncul kesadaran baru untuk melakukan pembaharuan dan modernisasi dalam Islam. Hal ini terlihat dengan dilaksanakannya kongres-kongres yang menghadirkan para ulama dan pemikir yang mempunyai semangat melakukan upaya-upaya yang mengarah pada aufklarung Islam. Kongres pertama dilaksanakan di Islamabad – Pakistan pada tahun 1976, kemudian dilanjutkan dengan kongres di Istambul – Turki pada tahun 1977, kongres di Qatar pada tahun 1979, dan kongres di Cairo 1985 di bawah bimbingan al-Azhar. Salah satu keputusan paling penting yang telah disepakati bersama adalah membentuk sebuah tim terdiri dari para tokoh ulama di dunia Islam di bawah pengawasan al-Azhar yang bertugas merumuskan ensiklopedi baru hadis Nabi (Mawsû`ah Hadîtsah li al-Hadîts al-Nabawî) yang hanya memuat hadis-hadis shahih, tidak memasukkan hadis-hadis palsu dan lemah (al-ahâdîts al-mawdhû`ah wa al-dha`îfah). Keputusan ini diambil mengingat bahaya yang ditimbulkan hadis-hadis palsu, serta keharusan menyelamatkan Islam dari cengkramannya sebagai langkah awal menuju aufklarung dan pembaharuan.

Akan tetapi orang-orang Wahabi, seperti memang sudah biasa mereka lakukan, dengan keras menentang keputusan ini dan menuduhnya sebagai upaya merubah al-Qur’an dan al-Sunnah, sehingga Syaikh al-Azhar, Dr. Sayyid Tanthawi pada kongres yang baru-baru dilaksanakan di Cairo memberikan penjelasan: “Pembaharuan yang kita maksudkan tidak berarti ‘mengobrak-abrik’ ketetapan-ketetapan syariat (al-tsawâbit al-syar`iyyah), dan Islam adalah agama modern (dîn mutajaddid) yang mampu mengakomudasi hal-hal baru dalam masyarakat kontemporer! Dan seperti biasa orang-orang Wahabi memanfaatkan wibawa mereka di dunia Islam dengan kekayaan-kekayaan minyak, sehingga membuat upaya-upaya perbaharuan kemudian terhenti, padahal sekarang kita hidup di tahun 2006 M, yaitu setelah tiga puluh tahun dari awal upaya pembaharuan. Orang-orang Wahabi menginginkan masyarakat Islam ‘yang buta huruf’ tetap seperti ini!!”

Maka jangan heran kalau keterbelakangan menimpa kaum Muslimin. Makanya kita memohon kepada Tuhan untuk menyelamatkan kita semua...


* Diterjemahkan dari Majalah Rosa El Yossef, Edisi 4088, 14 Oktober 2006
** Peneliti dan Pemikir Islam Mesir

 
posted by Roland Gunawan at 8:33 PM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"