………Pengalaman sejarah bangsa Arab, pengalamannya bersama peradaban kontemporer saat ini, tidak cukup hanya mencontoh model al-salaf al-shalih saja. Model ini sudah cukup bagi kita manakala sejarah itu adalah sejarah kita, manakala dunia, secara keseluruhan, berada di bagian dalam dunia kita...........(Abid Al-Jabiri)
al-Muqaddimah
Masa nabi Muhammad seringkali dijadikan sebagai patokan sejarah. Sebab, di masa itulah Islam sebagai sebuah agama muncul untuk mendobrak kemapanan berfikir masyarakat waktu itu. Kalau kita melihat masa sebelumnya, masa nabi bisa dikatakan sebagai masa khalaf (baru). Tapi, jika dibanding dengan masa setelahnya, masa nabi adalah masa salaf (yang sudah lewat).
Sebenarnya, kata salaf sendiri artinya, seperti yang banyak beredar, adalah tiga abad pertama (al-qurun al-tsalatsah al-ula) sejak lahirnya Islam, agama yang dibawa nabi Muhammad. Sumbernya bisa kita lacak melalui salah satu hadis nabi yang diriwayatkan al-syaikhani dari riwayatnya Abdullah bin Mas`ud: "Sebaik-baiknya manusia (khair al-nas) adalah di masaku (qarni), kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya……"
Dari hadis di atas, ada beberapa pertanyaan yang muncul. Apakah yang dimaksud al-qurun al-tsalatsah (tiga abad) yang oleh Rasulullah disifati dengan al-khairiyyah (terbaik), sebagaimana yang telah disebutkan secara berturut? Apakah al-khairiyyah diperuntukkan bagi seluruh kaum Muslimin (majmu` al-muslimin) yang hidup pada masa itu? Atau, apakah al-khairiyyah itu diperuntukkan bagi perorangan (al-afrad) dari kaum Muslimin?
Sebagian besar ulama' memandang bahwa, al-khairiyyah diperuntukkan bagi perorangan (al-afrad) dari kaum Muslimin, walaupun terdapat perbedaan derajat di antara mereka. Sedangkan Ibn Abdulbir (363-463 H) berpendapat bahwa, al-khairiyyah hanya diperuntukkan bagi seluruh kaum Muslimin (majmu` al-muslimin). Menurutnya, al-khairiyyah tidak untuk perorangan. Kalau untuk perorangan digunakan kata afdlal (lebih utama), yang mana di antara mereka ada yang lebih utama dari yang lain.
Barangkali, Rasulullah menyebut orang-orang yang hidup pada tiga masa itu sebagai umat terbaik (al-khairiyyah), dikarenakan masa kehidupan mereka yang sangat dekat dengan masa lahirnya kenabian dan risalah Islam. Pertama adalah masa para sahabat yang memang mendapat bimbingan secara langsung dari nabi Muhammad. Kedua adalah masa para tabi`in (pengikut para sahabat Rasul), di mana mereka memperoleh cahaya kenabian melalui para sahabat. Kemudian yang terakhir adalah masa tabi`i al-tabi`in. Di masa inilah aliran-aliran Islam lahir sebagai reaksi terhadap kenyataan sosial yang 'kurang memuaskan'.
Lamhah Tarikhiyyah li Zhuhur al-Salafiyyah
Menurut sejarah, Salafiyah muncul pertama kali di Mesir pada masa penjajahan Inggris, yaitu bertepatan dengan munculnya gerakan reformasi keagamaan (harakah al-ishlah al-dini) yang dipimpin oleh orang-orang sekaliber Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Faktor kemunculan Salafiyah sendiri sangat terkait dengan kondisi Mesir pada masa itu. Meskipun terdapat al-Azhar dengan seluruh ulamanya, gerakan keilmuan di sekitar lingkungannya, terlebih lagi di Mesir di segala penjurunya, akan tetapi, pada saat itu, juga dimarakkan dengan membludaknya berbagai macam bid`ah dan khurafat yang nampak sudah mulai berkembang dengan sangat pesat, bahkan di lingkungan al-Azhar sekalipun, yang sebagian timbul dari tasawuf. Di lingkungan al-Azhar sendiri, berbagai aktifitas keilmuan, berubah menjadi formalitas-formalitas stagnan, yang ada hanya percekcokan-percekcokan verbalistik (mumahakat lisaniyyah) dan ucapan-ucapan, yang sama sekali, tidak ada hubungannya dengan realita masyarakat. Al-Azhar bukan hanya tidak peduli dengan masyarakat, bahkan juga tidak merasa bahwa di pundaknya terdapat tanggung jawab yang besar, yaitu reformasi (al-ishlah) dan perubahan (taghyir).
Di tengah kondisi semacam ini, ada dua kelompok yang berkembang. Kelompok pertama, berkeinginan melebur dengan peradaban Barat, serta melepaskan diri dari semua ikatan, bahkan pemikiran-pemikiran keislaman. Kelompok kedua, berkeinginan untuk mereformasi kaum Muslimin, dengan mengembalikan mereka kepada Islam yang benar, yaitu Islam yang terbebas dari segala macam bid`ah dan khurafat, melepaskan Islam dari otoritas ulama al-Azhar yang lebih banyak memilih menyepi dari pada melebur bersama masyarakat, untuk kemudian diikat dengan roda kehidupan modern guna dicarikan alternatif harmonisasi simbiosis dengan peradaban pendatang (al-hadlarah al-wafidah). Kelompok kedua inilah yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Abdurrahman al-Kawakibi dan lain-lain. Mereka menyerukan agar dilakukan reformasi secara sungguh dan penuh kejujuran.
Mengingat bahwa setiap gerakan reformasi harus memiliki sebuah syi`ar tertentu, sehingga membuat orang tertarik untuk mengikutinya, maka syi`ar yang diangkat kemudian adalah al-salafiyyah (salafisme), yang berarti ajakan untuk menghapus berbagai noda yang telah mengotori kesucian Islam, seperti bid`ah, khurafat, mengisolasi diri dengan melakukan`uzlah dan menjauh dari kehidupan dunia. Sehingga nantinya, Islam dapat kembali kepada fitrahnya yang semula, sebagaimana yang dianut oleh al-salaf al-shalih. Jadi, tujuan dari diangkat syi`ar Salafiyah bukan untuk apa-apa, melainkan hanya untuk bisa keluar dari kungkungan bid`ah, khurafat dan khayalan-khayalan yang sudah banyak merasuk ke dalam jiwa masyarakat Islam. Lebih dari itu, agar Islam menjadi agama yang senantiasa menganjurkan untuk bekerja keras, berusaha dan berjihad, bukan hanya duduk di atas sajadah, berdo`a, kemudian tidur dengan niat bermimpi melihat cahaya kasih ilahi.
Akan tetapi, Salafiyah pada masa itu, semata-mata hanya digunakan sebagai syi`ar saja, tidak dijadikan sebagai salah satu madzhab Islam yang harus diikuti dan dianggap sebagai madzhab yang diyakini paling benar, sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang. Jadi, sebenarnya, walaupun gerakan reformasi tersebut menggunakan Salafiyah sebagai syi`ar, itu hanya merupakan sebuah upaya untuk mendekati al-salaf al-shalih pada satu sudut padang tertentu, yaitu yang berkenaan dengan penjauhan dari segala macam bid`ah dan khurafat.
Gerakan reformasi keagamaan itulah yang agaknya telah membawa pengaruh besar bagi regulasi kata Salafiyah di tengah-tengah kultur dan sosial secara umum. Kita lihat, bagaimana kata Salafiyah sudah keluar dari batasan-batasan ilmiahnya. Bahkan, jika dicermati, sudah berkeliaran secara liar, dijadikan nama berbagai perpustakaan dan lembaga keagamaan. Di Indonesia, ada pondok pesantren yang diberi nama 'Salafiyah Syafi`iyyah'. Bahkan ada semacam pembedaan, yang satu namanya pondok salaf, sedangkan yang lain namanya pondok modern. Seolah-olah hanya pondok salaflah yang paling banyak berpijak pada manhaj al-salaf al-shalih, sementara yang pondok modern, mengikuti metode Barat.
Berbeda dengan keadaannya yang sekarang, Salafiyah pada masa lalu, pada awal kemunculannya, kerap dipandang banyak kalangan gerakan melawan penjajahan, memerangi tukang sihir, berupaya menghilangkan berbagai kebiasaan dan tradisi yang dalam kamus sosial kemasyarakatan kita kenal dengan istilah "folklore", di samping sebagai ajakan kepada ketakwaan dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Singkatnya, Salafiyah di tengah-tengah kultur sosial pada masa lalu adalah gerakan pembaharuan, gerakan anti status quo (al-wadl`u al-qa'im).
Tidak ada sebutan paling indah, kecuali 'al-salafi', bahkan melebihi sebutan 'patriotis' (al-wathani), karena patriotisme dianggap sebagi bagian dari Salafiyah. Dengan kata lain, seorang salafi adalah seorang patriotis, bahkan lebih dari itu. Salafiyah berarti juga :kelurusan akhlak, pembaharuan dalam bidang agama, berbuat demi kelangsungan masa depan melalui ajakan untuk merujuk pada ajaran al-salaf al-shalih. Dengan makna seperti ini, Salafiyah, sebenarnya tidak hanya terlahir di abad kesembilan belas, akan tetapi, seluruh gerakan reformatif (al-harakah al-ishlahiyyah) dalam Islam yang orang-orangnya menganut aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah adalah Salafiyah.
Karena, seluruh gerakan yang mendapat inspirasi dari suatu masa tertentu dalam sejarah Islam, secara umum adalah masa al-salaf al-shalih, yang terdiri dari masa para sahabat dan al-tabi`in, secara khusus adalah masa al-Khulafa' al-Rasyidin, atau siapa saja yang mengikuti mereka, seperti Umar bin Abdul Aziz, atau para fuqaha' dan ulama agama yang mengikuti metode para sahabat. Dengan denmikian, keberpijakan pada ajaran al-salaf al-shalih merupakan sebuah makna yang diberikan bagi Salafiyah oleh siapa saja yang menjadikannya sebagai simbol norma, pemikiran atau aktifitas reformatif.
al-Salafiyyah wa al-Wahabiyyah
Ada kesamaan antara Salafiyah sebagai sebuah gerakan reformasi keagamaan dengan Wahabiyah sebagai sebuah madzhab yang oleh penganutnya dinisbatkan pada Muhammad bin Abdul Wahab. Kesamaan yang dimaksud terletak pada pemberantasan terhadap bid`ah dan khurafat, terutama sekali adalah bid`ah-bid`ah tasawuf. Melalui jembatan penghubung itulah, lambat laun, terma Salafiyah banyak beredar di kalangan para pemuka madzhab Wahabi, mengalir demikian derasnya pada jiwa mereka, pada saat mereka mulai merasa bosan dengan terma Wahabiyah yang dianggap hanya bersumber —dengan segenap keistimewaan dan kelebihannya— dari Muhammad bin Abdul Wahab. Karena itulah, mereka kemudian mengganti kata Wahabiyah dengan Salafiyah. Dengan nama baru yang diberikan pada madzhab lama mereka, diharapkan bahwa pemikiran mereka tidak hanya berhenti pada Muhammad bin Abdul Wahab saja, akan tetapi terus menjalar hingga sampai pada al-salaf al-shalih di zaman nabi. Mereka berkeyakinan bahwa segala pemikiran, metode mereka dalam memahami Islam dan penerapannya paling sesuai dengan akidahnya al-salaf al-shalih.
Demikianlah yang terjadi, bagaimana sebuah syi`ar gerakan reformasi bermetamorfosa menjadi sebuah madzhab atau aliran, yang oleh penganutnya dianggap sebagai madzhab paling benar, bahwa merekalah yang betul-tetul menerapkan Islam, sesuai dengan metode al-salaf al-shalih.
Saya kira seluruh aliran Islam yang ada saat ini, pada awalnya merupakan hanya merupakan sebuah gerakan yang mengekspresikan ketidakpuasan pada kenyataan yang ada. Akan tetapi kemudian, oleh para pengikut setelahnya, dimaknai secara sempit dan peyoratif, walaupun tidak jarang juga terjadi sebaiknya. Maksudnya, ada sebuah aliran yang semula sangat kaku dan tertutup, tapi setelah pindah tangan, aliran itu mengalami banyak mengalami pengembangan dan keterbukaan. Contohnya adalah madzhab Zhahiriyah, di mana ketika berada di tangan al-Ashfahani yang memang sebagai pendirinya, madzhab ini sangat tertutup. Namun mana kala dipegang oleh Ibn Hazm, madzhab ini kemudian dikembangkan oleh Ibn Hazm dengan melakukan ijtihad-ijtihad baru. Di mana ia memadukan antara fikih al-Zhahiri dengan sejarah.
al-Salafiyyah wa Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah
Dalam buku al-Manhaj al-Islami li Dirasah al-Tarikh wa Tafsiruh, Dr. Muhammad Rosyad Khalil, ketika menjelaskan mengenai hubungan antara Salafiyah, akal dan filsafat, menegaskan bahwa sebenarnya Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah adalah Salafiyah itu sendiri.(16) Kontras dengan itu, Dr. Muhammad Sa`id Ramadlan al-Buti mengatakan sebaliknya. Ia tidak setuju jika antara Salafiyyah di samakan dengan Ahl al-Sunna al-Jama`ah. Sebab menurutnya, bermadzhab Salafiyah adalah bid`ah. Jadi, ketika seorang Muslim mengaku bahwa ia termasuk dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah, maka ia tidak dikatakan berbuat bid`ah, sebab ia menganut sebuah kelompok yang mana Rasulullah telah menyuruh untuk bergabung di dalamnya. Hal ini diperkuat dengan hadis nabi sendiri. Sedangkan jika seorang Muslim mengaku menganut madzhab apa yang dikenal sekarang ini dengan Salafiyah, maka ia telah berbuat bid`ah. Sebab terjemahan kata al-salafiyyah, walaupun agak sama dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah, akan tetapi madzhab ini bukanlah sebuah madzhab yang telah disepakati oleh al-salaf al-shalih.
Sementara Abid al-Jabiri melihat indikasi adanya hubungan erat antara Salafiyah dan Islam sunni. Pada kenyataannya, kalau kita menengok seluruh gerakan Salafiyah yang sudah dikenal dalam sejarah Islam, melalui kaca mata peradaban yang hanya terbatas Arab Islam saja sebagai peradaban di masanya, kita akan menemukan bahwa Salafiyah merupakan ekspresi dari aktifitas pengembalian keseimbangan diri bagi rute sejarah Arab sejak munculnya Islam. Artinya, Salafiyah adalah bagian dari pengalaman sejarah Islam sunni yang ingin mengembalikan apa yang akan membuatnya bereksistensi dan berkesinambungan pada saat perkembangan internalnya mampu menghindarkannya dari kehancuran. Jadi, Salafiyah bisa dikatakan sebagai penolakan diri dari berbagai penyakit internal yang timbul dari dalam diri, di mana efektifitasnya akan sangat berfungsi ketika peradaban Arab Islam merupakan peradaban dunia di masanya, artinya tidak berdesak-desakan dan tidak terancam oleh peradaban lain.
Aswaja di Indonesia, pada sebenarnya merupakan 'jebolan' dari aliran Wahabiyah yang ada di Saudi Arabia. Sebab para tokoh yang menjadi pioner dari Aswaja, rata-rata pernah nyantri di Tanah Makkah al-Mukarramah, seperti KH. Hasyim Asy`ari. Jadi masih ada hubungan erat. Hanya saja, Aswaja yang ada di Indonesia, sudah banyak mengalami perbaikan-perbaikan yang tentunya sudah jauh berbeda dengan aliran Wahabiyah, walaupun di satu sisi memang ada kesamaan.
Ma'ziq al-Salafiyyah
Kalau kita melihat peradaban Islam saat ini, kita akan menemukan akar-akar yang banyak dan melimpah ruah. Namun sayang seribu sayang, akar-akar itu kering karena tidak ada seorangpun yang peduli untuk menyiramnya. Saat ini, kita hanya menjadi konsumen barang dan pemikiran yang lahap, sampai-sampai pemikiran turats pun habis kita konsumsi. Dalam posisi seperti ini, kita perlu membedakan antara al-ashalah (orisinilitas) dan al-salafiyyah, yang selama ini bercampur aduk sehingga mencapai titik kekaburan. Al-ashalah mempunyai konotasi positif dinamis. Al-ashalah, menurut Dr. Muhammad Syahrur, memiliki dua unsur yang dapat dipahami sesuai dengan tema yang dibahas. Kalau kita mengatakan: "bahasa Arab adalah bahasa yang orisinil (ashil)", berarti bahwa bahasa Arab mempunyai akar-akar yang terhujam dalam. Ini adalah unsur yang pertama. Kemudian, kita katakan: "bahasa Arab masih terus berkembang sampai sekarang", ini adalah unsur kedua. Kalau kita ambil perbandingan, ibarat sebuah pohon yang mempunyai akar-akar dan ranting-ranting. Akar dan ranting adalah dua unsur yang saling melengkapi. Akar pohon tertanam kuat di bumi, sedangkan rantingnya mengeluarkan buah. Dalam hal ini kita bisa mengambil sebuah contoh, misalnya, seorang ilmuan melakukan riset orisinil (bahts ashil) dalam bidang kimia, kemudian menciptakan diagram unsur-unsur dalam fisika. Kita katakan riset orisinil, artinya bahwa ilmuan tersebut telah melakukan semacam kreasi dan inovasi yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Akan tetapi, riset yang ia lakukan, tidak berangkat dari ruang hampa. Namun berdasarkan penemuan-penemuan sebelumnya dalam bidang kimia (akar-akar). Ini yang berkenaan dengan al-ashalah (orisinilitas).
Sedangkan al-salafiyyah, sebagaimana yang dipahami banyak orang saat ini, adalah ajakan untuk mengikuti jejak al-salaf (orang-orang terdahulu, tanpa peduli terhadap zaman dan tempat. Artinya bahwa, pada masa lalu, terdapat fase historis cemerlang, di mana orang-orang pada masa itu mampu menyelesaikan segala problem sosial, ekonomi dan politik, sehingga mereka bisa membangun sebuah negara yang kokoh dan diperhitungkan, bahkan mampu menerapkan keadilan. Jadi, yang dijadikan contoh patokan adalah al-salaf yang dianggap telah menjaga nalar dari berbagai kesalahan berfikir, merekalah yang telah membuka kran-kran pengetahuan kemanusiaan dengan hidayah dari Tuhan yang belum dikenal dalam sejarah manusia sebelumnya. Maka dari itu, kita harus mengikuti jejaknya, menirunya serta tidak boleh keluar dari garis-garis yang telah ditetapkan. Jika demikian, maka seorang salafi sama artinya dengan seorang muqallid (pentaklid), sebab ia tidak peduli zaman, tempat, bahkan mengabaikan sejarah dan memandulkan nalar. Seorang salafi hidup di zaman sekarang, tetapi meniru pola-pola kehidupan masa lalu. Bagaimanapun, taqlid adalah mustahil, sebab kondisi itu berbeda dengan kondisi abad dua satu. Meskipun kita berusaha untuk merujuk pada masa lalu, apa yang kita pahami tidak mungkin sama persis dengan pemahaman orang-orang di masa itu, karena yang kita lihat hanya teks sejarah saja. Makanya, seorang salafi sudah terperosok dalam faragh fikri (kehampaan pemikiran). Dengan sengaja ia berusaha meninggalkan kehidupan saat ini di tengah ketidakmampuannya untuk hidup di masa lalu, sebagaimana orang-orang di masa itu hidup. Ia tak ubahnya seperti burung gagak yang ingin meniru suara burung bulbul namun tidak mampu, kemudian ingin balik seperti sedia kala (ingin jadi burung gagak lagi), tapi malah lupa. Tinggallah ia —meminjam bahasanya Dr. Muhammad Syahrur —dalam ketidakjelasan, fala hua ghurab wala hua bulbula (bukan gagak, juga bukan bulbul). Beginilah keadaan kaum salafiyyin. Salafiyah —saat ini— sebenarnya merupakan sikap melarikan diri karena tidak mampu menghadapi tantangan abad modern. Mereka mencari sesuatu di dunia yang kosong, bukan di dunia nyata.
Untuk saat ini, di zaman yang sudah seringkali kita melihat benturan-benturan, Salafiyah tidaklah efektif untuk dijadikan sandaran alternatif. Salafiyah hanya akan cukup efektif ketika kita sedang sendirian dalam sebuah dunia, yaitu dunia kita sendiri. Akan tetapi, manakala kita sudah menjadi salah satu bagian dari semua, maka jalan satu-satunya untuk menjaga eksistensi dan kepribadian kita adalah menjalin hubungan dengan semuanya. Dalam hal ini, tentunya kita memerlukan sebuah logika, logika yang dapat memberikan pengaruh, yaitu logika kebersamaan. Akan tetapi kita harus berangkat dari posisi kita sendiri, bukan dari posisi orang lain. Logika kebersamaan yang dimaksud adalah logika peradaban kontemporer (al-hadlarah al-mu`ashirah), yang memiliki dua prinsip: rasionalisme (al-`aqlaniyyah) dan pandangan kritis (al-nazhrah al-naqdiyyah). Rasionalisme dalam bidang ekonomi, politik dan hubungan-hubungan sosial. Demikian juga berpandangan kritis terhadap kehidupan, alam, sejarah, masyarakat, pemikiran, budaya dan ideologi. Logika semacam ini tidak dapat disamakan dengan logika yang dipakai al-salaf al-shalih yang mendeskripsikan 'kota utama' (al-madinah al-fadlilah). Logika yang dipakai pada masa al-salaf al-shalih adalah: dunia hanya sekedar jembatan menuju akhirat. Inilah yang oleh al-Jabiri disebut dengan 'logika iman' (manthiq al-iman). Logika seperti ini bukan tidak berimplikasi, di mana suatu zaman hanya dipandang sebagai zaman keimanan saja, bukan zaman ilmu dan teknologi.
Memang, 'logika iman' masih relevan untuk setiap zaman dan tempat. Akan tetapi di zaman sekarang 'logika iman' itu relevan sebagai etika, pengarah norma kemanusiaan dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan harapan supaya mendapat keutamaan di akhirat kelak. Jadi, ajaran al-salaf al-shalih harus dipandang sebagai sebuah etika, sumber keutamaan dan ketakwaan. Adapun selain etika, kita harus mencari logika lain, melalui sistem-sistem perkembangan kehidupan, orientasi perjalanannya dan berbagai kekuatan yang ada di dalamnya.
Pengalaman sejarah di masa nabi harus dikontekstualisasikan agar nampak lebih dinamis pada saat ini, dengan menciptakan babak baru yang dapat beradaptasi dengan zaman modern sekarang ini, zaman yang selalu menuntut segala apa yang ada di dalamnya untuk bertekad bahwa, setiap hari, setiap jam, zaman adalah zamannya al-khalaf, bukan zamannya al-salaf.
al-Ikhtitam
Di akhir makalah yang sangat ringkas ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa, ketika saya menyebutkan pandangan-pandangan kritis terhadap Salafiyah, bukan berarti saya ini menolak atau tidak suka. Hanya saja, saya ingin mengingatkan bahwa aliran yang dianut oleh seseorang tidak harus dianggap paling benar dan harus diikuti.
Ada pengalaman menarik yang pernah dialami oleh Dr. Muhammad Sa`id Ramadlan al-Buti. Pada suatu malam, ia melaksanakan shalat insya' di salah satu negara Arab dengan berjama`ah. Setelah shalat, seperti biasa sang Imam mengangkat tangan untuk berdo'a, yang kemudian diikuti oleh yang lain. Tiba-tiba salah seorang jama`ah —kebetulan adalah seorang penganut aliran Salafiyah— berdiri memisahkan diri dari jama`ah lain yang dianggapnya telah sesat. Kemudian al-Buti bertanya pada orang itu "Apa sih bahayanya berbuat demikian (berdo'a setelah shalat)?". Orang itu menjawab "Tidak ada ceritanya Rasulullah menyuruh kita berdo`a setelah shalat, akan tetapi menyuruh kita untuk berdo'a di sela-selanya.
Masalahnya bukan terletak pada kecondongan orang tersebut untuk lebih memilih salah satu pendapat yang mengatakan bahwa berdo'a disunnahkan di sela-sela shalat, bukan setelahnya. Banyak para ulama yang berpendapat demikian, ketika mereka menafsirkan hadis Sa`ad bin Abi Waqqash yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, di mana Rasulullah berdo'a pada dubr al-shalah. Perbedaan ulama terletak pada kata dubr al-shalah. Sebagian ada yang mengatakan bahwa maksud dari dubr al-shalah itu adalah pada penutupan shalat, sebelum salam. Sedangkan sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dubr al-shalah itu adalah setelah shalat (`aqib al-shalah).
Sebagaimana yang dikatakan tadi bahwa, masalahnya bukan terletak pada orang itu yang memilih salah satu dari dua penafsiran yang ada. Akan masalahnya, orang itu memilih satu di antara dua penafsiran, kemudian menjadikan pilihan tersebut sebagai yang paling benar. Sementara pilihan orang lain yang tidak sama dengan dianggap sesat dan menyesatkan. Ulama al-salaf al-shalih mana yang mengajarkannya demikian.
Daftar Pustaka
- Muhammad Abid Al-Jabiri, al-Din wa al-Daulah wa Tathbiq al-Syari`ah, Markaz Dirasat al-Wihdah al-Qaumiyyah, Beirut, cet. Ke II, 2004.
- Dr. Muhammad Sa`id Ramadilan al-Buti, al-Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah, la Madzhab Islami, Dar al-Fikr, Beirut, cet. Ke II, 2001.
- Dr. Mahmud Isma`il, Isykaliyyah al-Manhaj fi Dirasah al-Turats, Ru'yah, Kairo, cet. Ke I, 2004, hal. Dr. Muhammad Rosyad Khalil, al-Manhaj al-Islami li Dirasah al-Tarikh wa Tafsiruh, Dar al-Manar, Kairo, cet. Ke I, 1984.
-Konseptualisasi Yang Hidup, Tim Penyusun SAS Center.
-Dr. Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur'an.