Kalau kita saksikan pementasan Panggung Gembira pada waktu yang lalu, kita jadi teringat akan tanah air kita, tanah di mana kita dilahirkan, yaitu tanah air kita Indonesia yang kaya akan adat budaya.
Sejenak akan terlintas pula dalam memory kita bahwa pada tahun 1945 bertepatan dengan tanggal 17 Agustus, bangsa ini memulai memproklamirkan dirinya sebagai bangsa yang merdeka, bebas dari tekanan dan kungkungan para penjajah, untuk kemudian bangkit memperbaiki, membangun, membenahi dan mengatur dirinya sendiri tanpa intervensi dari pihak luar.
Tentu saja dalam mengatur sebuah negara yang baru merdeka tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan sebelum usaha pembangunan dan pengembangan berhasil, itu telah menimbulkan kudeta, yang pada akhirnya pemerintahan pertama jatuh dan diganti dengan pemerintahan yang baru.
Pemerintahan baru ini pun berjalan guna meneruskan pembangunan. Tapi karena terlalu over dosis dan mengandung banyak virus, akhirnya lumpuh. Dan terpaksa harus direformasi.
Kita mungkin merasa bangga dengan keberhasilan bangsa melepaskan diri dari para penjajah. Tapi, apakah dengan lenyapnya para penjajah itu benar-benar dapat dianggap sebagai hasil yang baik? Sukar untuk dikatakan dengan pasti, mengingat lenyapnya penjajahan itu telah berubah wujud menjadi KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang merajalela di negeri ini. Apakah bedanya itu? Hanya cara yang kasar diganti oleh cara yang lebih halus.
Namun walau bagaimanapun kita juga tidak boleh menutup mata terhadap apa yang telah dicapai, di antaranya ialah berdirinya gedung-gedung pencakar langit yang merupakan hasil dari usaha pemerintah dalam hal pembangunan, disamping hubungan diplomasi dengan negara-negara asing. Sehingga generasi sekarang tinggal meneruskan saja sajalan dengan cita-cita bangsa yaitu “ GO INTERNASIONAL”.
Kembali pada hal kemerdekaan, nampaknya sejak semula bangsa kita memang kurang serius dalam mengemban amanat kemerdekaan tersebut. Sehingga yang banyak dilakukan adalah bersembunyi di balik kebohongan, dan masyarakat kita sudah terbiasa mempercayai kebohongan-kebohongan yang sudah mengakar cukup kuat. Maka inilah saatnya kita harus menuai hasil kebohongan-kebohongan yang sudah tumbuh subur. Akhirnya, manakala kebohongan mulai terkuak, ketika masyarakat kita sadar dengan kebohongan-kebohongan yang sudah cukup lama dipercayainya, maka yang timbul sekarang adalah krisis kepercayaan, terutama terhadap aktor penyelenggara negara yang memimpin bangsa yang kita cintai ini. Hal tersebut setidaknya sudah membuat kita kurang PD dalam menyandang predikat bangsa yang merdeka di mata masyarakat dunia.
Kekurang PD-an kita tampak pada omongan-omongan dan tulisan-tulisan kaum elit ketika ada yang dengan berani mengatakan “Aku malu jadi orang Indonesia”. Belum lagi perdebatan-perdebatan panjang yang kesemuanya mencerminkan kepesimisan mereka akan kemajuan bangsa ini.
Dan yang lebih memprihatinkan, kita lebih banyak mempromosikan produk-produk orang lain dari pada mempromosikan produk-produk kita sendiri. Kita tidak cukup PD untuk mempromosikan produk dalam negeri yang merupakan hasil karya kita sendiri. Kita lebih bangga menjadi bangsa konsumtif dari pada bangsa yang produktif. Coba kita lihat anak-anak bangsa kita sekarang, ketika mereka ditanya tentang pakaian dan hiasan yang mereka pakai. Dengan bangga mereka akan menjawab “Ini buatan Amerika, Ini buatan Swiss, Ini Buatan Prancis dll”.
Apakah kita tidak iri pada Jepang yang dalam waktu relatif singkat —pasca meledaknya bom di kota Hirosima dan Nagasaki— telah mengalami kemajuan begitu pesat dalam segala bidang. Terutama sekali dalam bidang teknologi. Di sana kalau ada sebuah barang produk, lalu kita tanya masyarakat di sana “ Apakah ini buatan Amerika?” Secara spontan mereka akan marah sambil mengatakan “ Ini hasil kerja keras kami ” Sementara masyarakat kita kalau ditanya demikian, dengan malu-malu —tapi bangga— akan menjawab, “Jelas dong, saya nggak mau kalau bukan buatan luar negeri.” Pokok, segalanya serba luar negeri.
Itu masih sebagian kecil saja, belum lagi masalah politik dan ekonomi yang hingga sekarang masih belum jelas. Ditambah lagi masalah hutang yang sampai detik inipun belum pada selesai. Kok mau selesai gitu, malah ini semakin bertambah.
Saat ini kita sudah kehilangan identitas sebagai bangsa yang merdeka. Kita sudah tidak punya harga diri lagi. Harga diri yang dulu mati-matian dipertahankan ternyata sirna karena tingkah laku kita sendiri. Kita hanya pandai mengamati dan berkomentar saja, sedang kerja kita tidak ada. Contoh kecil yang mungkin dapat kita ambil i’tibar adalah masalah sepak bola. Ketika Wold Cup dimulai, ramai-ramai kita memberi komentar begini dan begitu. Mulai dari kaum bawah sampai kaum elit, masing-masing sibuk memberikan pengamatan. Ramai-ramai pula kita memberikan dukungan kepada yang ini dan yang itu. Sementara kita sama sekali lupa memberikan dukungan kepada Club Persepak-bolaan kita sendiri. Sehingga pada Wold Cup tahun 2002 kemarin ada sebuah pertanyaan yang sangat populer dan seringkali didengungkan di mana-mana, tidak saja oleh kalangan kita sendiri, namun orang diluar kita pun tahu hal itu. “Kapan Indonesia masuk piala dunia?”.
Sungguh ini merupakan pertanyaan yang tidak semestinya diungkapkan. Pertanyaan yang sama sekali menafikan kemampuan kita. Pertanyaan yang mencerminkan ketidak-PD-an akan potensi yang kita miliki. Padahal apapun kalau dibarengi dengan kerja keras serta usaha yang optimal, pasti bisa. Tidak ada kata-kata tidak bisa kalau 95% dari keringat kita keluar. Kita tidak bisa, kan karena kita memang tidak serius dalam berusaha. Nah, inilah sebenarnya kelemahan dan kekurangan kita. Maka jadilah kita bangsa yang kurang PD. Kaciaan........ dech lhooo.......@