**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Monday, March 27, 2006
Islamisasi Vs Kristenisasi, Pluralisme
Saya sependapat dengan Ustadz Zuhairi dan Mas Guntur Romly, bahwa tidak semua orang Kristen seperti apa yang kita gambarkan. Saya kira missionaris tidak hanya ada dalam agama Kristen, tapi juga dalam Islam. Kalau orang-orang Islam tidak suka dengan Kristinisasi, lalu kenapa harus ada Islamisasi? Semut di tengah lautan nampak, sementara Gajah di depan mata tidak nampak. Jika orang-orang Islam beranggapan bahwa islamisasi tak lain hanya dikarenakan Islam adalah agama yang paling benar, maka saya yakin orang-orang Kristen pasti akan beranggapan yang sama.

Secara subtansial, agama memang tidak sama, misalnya dalam hal teologi. Ini saya kira sifatnya politis. Cak Nur ketika mendengungkan pluralisme agama tidak bermaksud untuk membuat agama raksasa di mana semua peluknya berkeyakinan sama. Maksud dari Cak Nur adalah bagaimana semua agama yang ada hidup rukun dan damai. Pada saat itu Indonesia lagi dalam kritis, diancam disintegerasi bangsa. Makanya pluralisme agama harus dimunculkan. Dalam realitas kehidupan manusia semua agama memang sama, tidak ada agama yang mengajarkan pemeluknya untuk mencuri dan korupsi. Ini sebenarnya letak kebenaran semua agama, makanya pluralisme merupakan media yang tepat untuk menghilangkan perang antar agama hanya karena perbedaan teologi. Tapi untuk urusan akhirat, biarlah Tuhan yang tahu, kita tidak usah ikut campur urusan Tuhan, mau ngapain aja terserah Dia. Untuk urusan di dunia, anggaplah semua pemeluk agama, Kristen atau Islam, sebagai saudara kita. Saudara yang sama-sama dilahirkan untuk hidup rukun di dunia, bukan untuk dimusuhi.

Menurut hemat saya, ayat al-Qur'an yang berbunyi: "Walan tardla `anka al-Yahud wa la al-Nasharo", tidak bermaksud agar orang orang Islam membunuhi orang-orang Yahudi dan Kristen, sama sekali tidak. Kalau kita percaya dengan adanya Nasihk Mansukh, saya kira ayat tadi juga dihapus dengan ayat lain, dalam al-Qur'an disebutkan: "Inna alladziina aamanuu wa alladziina haaduu wa al-Nasharo wa al-Shabi'iina man amana bi Allah wal al-yaum al-akhiri wa `amila shaalihan wa lahum ajruhum `inda rabbihim wa khaufun `alaihim wa laa hum yahzanun." (Surat al-Baqarah). Dalam surat yang sama Allah berfirman: "Maa nansakh min aayatin aw nunsihaa na'ti bi khairin minhaa aw mitslihaa."(al-Baqarah). Kalimat "bi khairin" di sini jangan hanya diartikan secara tekstual, "lebih baik", akan tetapi maksudnya "lebih toleran, lebih terbuka, lebih demokratis". Inilah sebenarnya makna yang harus dicari. Kalau kita percaya bahwa setiap kata dalam al-Qur'an mempunyai banyak makna, lalu kenapa kita tidak mencari kemungkinan-kemungkinan lain yang justeru akan membuat al-Qur'an lebih indah, lebih damai, bukan kitab yang hanya menyuruh membunuh, menghalalkan darah orang. Saya kira Tuhan tidak bermaksud seperti itu.

Dalam kehidupan berbangsa, kata al-Syirk dan al-Kufr dalam al-Qur'an jangan hanya diartikan syirik dan kafir dalam hal akidah, akan tetapi lebih mempunyai arti syirik dan kafir secara sosial. Sehingga orang-orang Kristen atau Yahudi yang mau hidup damai dengan kita jangan dianggap sebagai orang-orang yang harus dimusuhi, disingkirkan. Tapi kita harus bergaul dengan mereka secara baik. Dan kalaun ada seorang Muslim yang suka korupsi, mencuri uang rakyat, orang seperti inilah yang harus dianggap sebagai orang syirik dan kafir, makanya perlu diberlakukan ayat-ayat hukuman al-Qat`u, al-Qatlu dan lain-lain. Tapi kita jangan main asal hukum, masih ada hikmah yang harus kita jiwai, "ahsin ila man asa'a ilaika", berbuat baiklah kepada orang yang berbuat buruk kepadamu". Dalam Islam sebenarnya banyak kata hikmah yang saya kira merupakan pengejawantahan dari al-Qur'an.Bagi saya, inilah yang perlu diperkaya, bukankah rasulullah bersabda "al-hikmatu dlaallatu al-mu'min", "hikmah adalah barang yang hilang bagi seorang Mukmin (makanya harus dicari)", jangan hanya memperkaya dengan hukum-hukum fiqih yang hanya akan membuat perbuatan kita menjadi tidak seimbang, miring, berat sebelah, lebih condong kepada hal-hal yang mengarah pada radikalisme, dan ekstremisme. Banyak orang Islam menjadi radikal karena hanya terpaku pada teks-teks fikih, cobalah sekali-kali mengkaji teks-teks yang merupakan hasil kerja keras orang-orang seperti al-Hallaj, Ibnu `Arabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, al-Tauhidi, Suhrawardi dan lain-lain. Mereka saya kira adalah pewaris para Nabi. Mewarisi para Nabi bukan hanya ilmunya, tapi juga penderitaannya. Lihat saya al-Hallaj, al-Tauhidi, mereka sengsara karena ulah para ahli fikih yang menjadi budak-budak pemerintah. Saya melihat, inilah yang diikuti orang-orang seperti Suhartono Ahmad Jaiz, dia merasa "gembira" ketika tahu para ahli fikih membunuh al-Hallaj dan Ibnu `Arabi. Bahkan dengan bangga dan berapi-api Suhartono Ahmad Jaiz menulis peristiwa tersebut dalam bukunya yang dikenal laku keras. Saya tidak mengerti mengapa ada orang 'gembira dan bangga' ketika saudaranya sesama Muslim dibunuh? Kayaknya dunia memang hampir kiamat.

Contoh lain adalah Suhrawardi. Dia dipenjara hanya karena mengatakan bahwa Allah dengan kemampuannya bisa mengutus nabi lain setelah nabi Muhammad. Para ahli fikih menentang keras dengan dalih bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Karena dekat dengan pemerintah, mereka berhasil membujuk penguasa untuk memenjarakannya, di sinilah Suhrawardi meninggal. Masih banyak tokoh-tokoh Muslim klasih yang mengalami nasib serupa.

Saya sependapat dengan Suhrawardi. Kenapa tidak? Tuhan Maha Mampu, hak Dia untuk mengutus nabi lain selain nabi Muhammad. Hanya saja Tuhan tidak bisa mengingkari Janjinya bahwa Nabi Muhammad adalah rasul yang terakhir, tapi ini tidak berarti menghilangkan ke-Maha Mampuan Tuhan. Justeru orang-orang yang menentang Suhrawardi, bagi saya, adalah orang-orang yang mengingkari ke-Maha Mampuan Tuhan. Kenapa banyak orang tidak tahu ini? Aneh sekali.
 
posted by Roland Gunawan at 4:55 AM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"