**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Monday, March 27, 2006
Syetan Besar itu Bernama Barat

Sebagai wilayah besar, Barat melakukan ekspansi dalam berbagai bidang. Ini dimaksudkan untuk menyebar-luaskan kehendak hegemoninya bersamaan dengan terbentuknya perkumpulan tujuh negara besar yang akan mengatur ekonomi dunia berikut nasibnya. Tujuh negara yang dimaksud adalah Amerika serikat, Jepang, Jerman, Kanada, Prancis, Italia dan Inggris. Dari segi geografi – politik (selain Jepang), negara-negara ini memang nampak konkordan, namun dari segi ekonomi terlibat persaingan dalam menguasai pasar dunia. Sebenarnya pemasukan Jepang ke Barat bermakna perluasan pengertian Barat, yaitu perluasan ideologis bukan geografis, sebab, seperti kita tahu, Jepang terletak di ujung Timur. Jadi sekarang, dari segi politik dan peradaban, Jepang bisa dianggap Barat. Oleh sebab itu, pengertian Barat nampak lebih ideologis, bukan geografis.

Dimasukkannya Jepang ke Barat karena faktor kekuatan teknologi, ekonomi dan perbankannya. Di sini, pada tataran formasi komando dunia, kita lihat, prioritas mutlak diberikan kepada strategi-strategi hegemoni dan kekuatan, ini tentunya didasarkan pada makna serta taruhan-taruhannya. Bahkan mereka hampir tidak peduli untuk menutupi dan menyembunyikannya atau bahkan memberikan kedok sebagai kamuflase. Sampai-sampai “aktifitas kemanusian” tak lain hanya merupakan lapisan tipis yang di baliknya tersembunyi penjualan senjata, seolah-olah merupakan hadiah yang diberikan kepada pembelinya secara langsung setelah penjualan!! Di sini kita melihat bagaimana aktifitas kemanusian hanya difungsikan sebagai strategi-strategi hegemoni dan eksploitasi. Demikian juga halnya dengan penggunaan “hak-hak manusia” oleh negara-negara besar penguasa dunia. Negara-negara ini tidak bisa menyembunyikan slogan lama yang digunakan selama terjadinya ofensi imperialisme yang menyatakan adanya misi peradaban Barat dalam mempersiapkan bangsa-bangsa biadab (liar) pada saat negara-negara besar tersebut menyerukan penghormatan terhadap demokrasi, kita lihat dari sisi lain, mendukung sistem-sistem yang justeru represif terhadap berbagai hak dan kebebasan demokrasi, bahkan yang paling sederhana sekalipun! Ini merupakan fenomena memprihatinkan di mana negara-negara besar bersekutu berikut sistem-sistem dan menejemen-menejemen birokrasinya yang aktif berdasar media-media informasi mutakhir juga sistem-sistem keuangan dan perbankannya. Semua itu pada akhirnya tunduk pada otoritas politiknya.

Setelah saya curahkan apa yang bersemayam di benak saya mengenai gambaran yang barangkali tidak fair terhadap Barat, saya merasa dituntut sedikit memperbaikinya. Sebab jika tidak, sajian saya tadi akan dipahami sebagai perkataan yang lahir dari kekolotan seorang fundamentalis! Saya tidak mengingkari adanya peradaban, perkembangan dan kemajuan. Saya bukan termasuk orang-orang yang gemar menjelek-jelekkan Barat dalam suatu kesempatan tanpa kesempatan yang lain. Tetapi saya tidak bisa menyangkal bahwa buah-buah peradaban ini tidaklah terbagi secara merata. Sebagaimana saya menolak diskursus reduktif dan antagonis media-media informasi Barat terhadap Islam dan kaum Muslimin, saya juga menolak diskursus-diskursus kaum fundamentalis Islam tentang Barat serta peradabannya. Peradaban Barat tidaklah sejelek yang mereka gambarkan, bahkan jika dicermati, akan kita dapatkan di dalamnya banyak sisi-sisi positif yang akan bermanfaat bagi laju perkembangan peradaban-peradaban manusia di muka bumi. Dari itu saya katakan, kritik-kritik yang saya lontarkan tidak bermaksud memberikan advokasi kepada kaum fundamentalis Islam, benar atau tidak, dan mengingkari setiap kapasitas positif kaum orientalis Barat.

Sebenarnya banyak negara Islam yang ingin melepaskan diri dari jeratan hegemoni Barat, meskipun pada akhirnya jarang ada yang berhasil. Salah satu contoh yang mungkin dapat dianggap cukup berhasil adalah Iran, yang kita tahu sebagai sebuah negara kecil dengan mayoritas masyarakat Syi`ah-nya. Berbagai upaya dilakukan guna terealisasinya hal itu dan mencapai puncaknya pada bulan-bulan terakhir tahun 1978 Masehi dan bulan-bulan pertama tahun 1989 Masehi, di mana dunia Syi`ah menyaksikan sebuah peristiwa yang menjadi sentral perhatian dunia. Peristiwa itu adalah revolusi yang dipimpin para ahli fikih Syi`ah dengan tokoh utama seorang al-fakih al-mujtahid, yaitu Ayatullah, Ruhullah al-Khumaini atau yang lebih kita kenal dengan al-Imam al-Khumaini. Menariknya, revolusi ini merupakan revolusi Syi`ah paling signifikatif sejak revolusi Imam Husen, yang berakhir dengan tragedi Karbala (tahun 675 M), kemudian revolusi kaum al-Tawwabin di bawah pimpinan Sulaiman bin Shard yang akhirnya juga ditimpa kekalahan (tahun 674 M). Kita tahu bahwa Syi`ah, khususnya sejak Imam Ja`far al-Shadiq (tahun 699 – 765 M) juga merasakan pahit dan pedihnya kegagalan, sehingga kemudian berubah menjadi kelompok sosial – keagamaan, bukan sebagai kelompok revolusioner.

Dan ketika al-Khumaini memimpin, Iran bangkit kembali mengganti kegagalan yang selama ini menyelimutinya dengan kesuksesan yang membuatnya mampu mempertahankan identitas sebagai negara merdeka dan mandiri. Sebenarnya revolusi Iran bukanlah revolusi politik semata. Tidak dapat disangkal bahwa sistem pemerintahan Syah sangat sewenang-wenang dan membawa ekonomi Iran ke arah jalan buntu, dua faktor ini termasuk permasalahan penting. Artinya, tanpa keduanya, revolusi ini tidak akan terjadi. Banyak rakyat Iran yang mengikuti para ulama (ahli fikih) hanya karena ingin terbebas dari Syah yang tunduk di bawah pengaruh Barat. Di samping itu, revolusi Iran juga dimaksudkan untuk menentang logika sekuler yang menjauhkan agama, sehingga orang-orang Iran merasa bahwa logika tersebut hadir tanpa mereka kehendaki. Berpijak pada ini, mereka kemudian menganggap Amerika Serikat sebagai syetan terbesar yang harus diperangi. Menurut mereka, kalau tidak karena dukungan Amerika Serikat, Syah tidak mungkin bertindak seenaknya. Di sini nampak bahwa Amerika merupakan faktor pertama dalam problem-problem spiritual, ekonomi dan politik di Iran. Tulisan-tulisan dinding dengan jelas menggambarkan Khumaini sebagai Musa dan Syah sebagai Fir`aun, sedangkan Amerika digambarkan sebagai berhala yang disembah oleh Fir`aun (Syah). Bagi rakyat Iran, Amerikalah yang merusak Syah, dan bahwa Khumaini merupakan pengganti alternatif dari kediktatoran Syah yang sama sekali tidak suci.

Bagi rakyat Iran, tampilnya Khumaini adalah suatu mu`jizat, bahkan di antara mereka ada yang menganggapnya sebagai al-Imam al-Gha’ib yang selama ini ditunggu-tunggu. Kontan saja penyebutan “al-Imam” kepada Khumaini membuat para Mujtahidin yang merasa mempunyai kedudukan tinggi menjadi marah, kemudian secara resmi mereka menegaskan bahwa Khumaini bukanlah al-Imam al-Gha’ib. Namun bagi jutaan rakyat Iran, Khumaini tetaplah seorang Imam hingga akhir hayatnya. Mereka percaya akan lahirnya suasana baru dengan kepemimpinan Khumaini. Upaya Khumaini memang cukup berhasil. Dengan kecerdasannya, ia tidak hanya mampu membuat rakyat Iran mempercayainya, tapi juga mampu merubah sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan yang digunakannya adalah Wilayat al-Faqih, di mana puncak kekuasaan berada di tangan ahli fikih tertinggi yang tak lain adalah Khumaini sendiri. Namun jaminan kenyamanan sistem pemerintahan Khumaini ini tidak dapat dirasakan secara merata. Kita tahu bahwa Iran adalah negara Islam, tapi apakah Islam yang benar di sana? Di manapun, yang namanya kelompok mayoritas pasti lebih berkuasa, lebih berhak mendapatkan kenyamanan. Di Iran yang menjadi kelompok mayoritas adalah Syi`ah. Jadi merekalah yang paling banyak mendapatkan fasilitas. Sedangkan kelompok minoritas, Ahl Sunnah misalnya, merasa terpinggirkan, seakan-akan berada di luar jalur Islam yang benar.

Bagaimanapun, upaya Iran dalam membebaskan diri dari cengkraman hegemoni Barat, dengan tanpa melihat hal hal-hal negatifnya, perlu kita apresiasi. Paling tidak ruh perjuangannya dapat menjadi stimulan bagi negara-negara lain, khususnya negara-negara yang di dalamnya terdapat mayoritas Muslim, agar mereka mau bangun dari tidur panjangnya untuk kemudian bangkit bersaing dengan negara-negara besar penguasa dunia. Kita melihat sendiri betapa akhir-akhir ini Iran mengalami banyak perubahan, di mana ia hidup berpijak di atas standar upaya politik dan pemikiran yang menjamin masa depan Islam dari segi praktek dan teorinya. Dan sesuatu yang sangat signifikan yang tengah terjadi sekarang adalah perbaikan pemahaman konsep atau ide kewarganegaraan dalam sebuah masyarakat dengan corak politik Islam sebagai komunitas yang memiliki serta merasakan hak-hak politik secara independen di bawah naungan sebuah sistem yang tidak menafikan keberadaan Tuhan.

 
posted by Roland Gunawan at 5:32 AM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"