**SELAMAT DATANG DI BLOG KEDAMAIAN**
MENCERAHKAN DAN HUMANIS
Monday, March 27, 2006
Dari al-Azhar al-Syarif Menuju al-Azhar al-Hadits


Dalam tarekat kita mengenal istilah tawassul. Tawassul mempunyai signifikasi penggunaan wasilah untuk mencapai tujuan tertentu. Seperti misalnya penggunaan mata untuk melihat, hidung untuk mencium, tangan untuk memegang dan telinga untuk mendengar. Dengan makna seperti ini tawassul bisa dikatakan sebagai `amal mathiqi (aktifitas yang logis).

Kita datang ke Mesir tujuannya untuk belajar. Wasilah yang kita gunakan adalah al-Azhar sebagai sebuah institusi pendidikan. Dalam hal ini yang perlu diingat, bahwa untuk mencapai tujuan ideal harus menggunakan wasilah atau sarana yang sepadan. Artinya, tujuan yang ingin kita capai harus seimbang dengan sarana yang kita gunakan. Orang yang masih muda (asal tidak minus) ketika melihat sesuatu, ia boleh berbangga karena matanya normal, sehingga apa yang dilihat nampak jelas. Sedangkan orang tua yang sudah mencapai titik pikun jangan berharap banyak, karena matanya rabun.

Al-Azhar yang menjadi tempat kita belajar, saat ini tengah mengalami penurunan kualitas. Dulu al-Azhar mampu mencetak orang-orang sekaliber Muhammad Abduh, Ali Abdurraziq, Yusuf Qardlawi, Quraisy Shihab dan tokoh-tokoh lainnya. Tapi sekarang, rasanya sangat sulit. Sistem dan instrumen pendidikan yang ada sudah tidak layak pakai alias kadaluarsa, al-Azhar sudah tua. Ketuan itulah yang membuatnya tidak mampu bergerak cepat, sehingga kualitas alumninya pun perlu dipertanyakan. Di Indonesia kita banyak melihat doktor lulusan al-Azhar hanya menjadi dosen thok, kalaupun ada yang lebih dari itu, malah memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang dengan apa yang dipelajari di al-Azhar.

Sekarang ada pertanyaan, kenapa al-Azhar di Mesir seakan-akan lebih hegemonik ketimbang institusi-institusi pendidikan lain? Hal ini tentunya tidak lepas dari kata adjektif yang disandangnya, yaitu al-Syarif yang berarti mulia atau terhormat. Saya kira al-Azhar sekarang sudah tidak lagi mulia atau terhormat seperti dulu, tetapi merasa mulia dan terhormat. Perasaan inilah yang membuatnya berbuat seenaknya, berfatwa sana-sini tanpa memperdulikan kebutuhan masyarakat disekelilingnya, seolah-olah kebutuhan masyarakat saat ini sama dengan kebutuhan masyarakat di masa lalu. Lebih parah lagi, semua orang harus mengikuti. Dan ini saya kira wajar. Al-Azhar sebagai universitas tertua sudah selayaknya merasa mulia dan terhormat. Lihat saja sikap orang-orang tua, karena sudah mengenyam pahit getirnya kehidupan atau karena telah banyak berjasa kepada anak-anaknya, kebanyakan dari mereka mau menang sendiri, maunya ngatur saja, semuanya harus sesuai dengan kehendaknya. Atau lihat saja orang tua yang pikun. Biasanya orang tua seperti ini gampang naik darah. Jangan sampai ada anak muda yang menentang pendapatnya, ia akan sangat marah sekali.

Oleh karenanya al-Azhar al-Syarif harus diganti dengan al-Azhar al-Hadits (modern). Al-Azhar al-Syarif adalah masa lalu yang sudah usang, cenderung menutup diri dengan al-Muhafazhah `ala al-Qadim al-Shalih. Sedangkan al-Azhar al-Hadits adalah sebuah cita-cita yang harus segera dimulai. Dalam artian bahwa semuanya harus dirubah, mulai dari sistem hingga instrumen pendidikannya. Al-Azhar al-Hadits adalah institusi yang toleran, terbuka, bersolidaritas tinggi, akomudatif dan apresiatif terhadap al-Akhdz bi al-Jadid al-Ashlah.

 
posted by Roland Gunawan at 5:04 AM | Permalink |


0 Comments:





"TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR DI SINI"