Pendahuluan
Setelah Rasulullah Saw. menghadap keharibaan Tuhan, kaum Muslimin membai`at Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah setelah Rasul. Dan sebelum Abu Bakar wafat, beberapa sahabat melakukan musyawarah guna menentukan figur yang tepat untuk menggantikan posisi khalifah setelah Abu Bakar. Setelah melalui perdebatan yang cukup sengit, akhirnya mereka bersepakat menunjuk Umar bin Khatthab. Maka, tatkala Abu Bakar meninggal dunia, kaum Muslimin dengan serta-merta langsung membai`at Umar, tidak ada seorang pun yang menentang pembai`atan ini selain Sa`ad bin `Ibadah. Di akhir-akhir masa jabatannya, Umar memberi kepercayaan kepada enam orang sahabat yang dikenal dengan ahl al-hill wa al-`aqdi untuk menentukan khalifah setelahnya, mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Sa`ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin Auf. Pada akhirnya, mereka sepakat dengan menunjuk Utsman bin Affan.
Ketika terjadi petaka dengan terbunuhnya Utsman bin Affan, pandangan kaum Muslimin secara keseluruhan terpusat pada dua tokoh sahabat, yaitu Ali bin Thalib dan Mu`awiyah bin Abi Sufyan. Maka jalan yang ditempuh kemudian adalah al-tahkim (arbitrasi). Akan tetapi, nampaknya, hasil dari arbitrasi dinilai kurang memuaskan, sehingga kaum Muslimin terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama memihak kepada Ali bin Abi Thalib (Syi`ah), kelompok kedua memihak kepada Mu`awiyah bin Sufyan, dan kelompok ketiga memilih tidak memihak pada keduanya (Khawarij).
Kelompok Khawarij mempunyai pendapat tersendiri dalam masalah imamah, mereka mengatakan bahwa seorang imam harus dipilih secara bebas oleh kaum Muslimin, dan kalau sudah terpilih, sepanjang masih benar-benar menerapkan keadilan, maka ia tidak boleh ditentang, jika seandainya ada yang menentangnya, harus diperangi, demikian juga jika imam itu sudah bertindak di luar batas keadilan. Sebagian dari kelompok ini ada yang berpendapat tidak wajibnya imamah, bahkan ada sebagian lainnya yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin (imam), selama perempuan itu memang memiliki kemampuan selayaknya.
Sementara itu, kelompok Syi`ah juga tidak ketinggalan, di mana mereka berpendapat bahwa imamah adalah wajib adanya. Namun pendapat mereka dalam hal imamah ini berlainan dengan pendapat umum kaum Muslimin. Sebagian dari mereka ada yang berpendapat bahwa imamah tidak dibolehkan kecuali dari keturunan Fathimah. Sebagian yang lain, yaitu Syi`ah Imamiyyah, berpendapat bahwa imamah merupakan ketentuan Tuhan bagi yang berhak berdasarkan pengetahuan-Nya, di mana Tuhan menyuruh kepada Nabi dan umat-Nya untuk menunjuk tokoh yang pantas. Mereka juga mengatakan bahwa Tuhan sudah menyuruh Nabi Muhammad untuk menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin bagi kaum Muslimin setelahnya, akan tetapi rupanya kaum Muslimin tidak mematuhi perintah tersebut. Dalam pandangan mereka, imamah merupakan salah satu rukun agama. Sebagaimana mereka juga melihat bahwa imamah dimulai dari Ali, setelah itu Hasan, Husen, Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, kemudain Ja`far al-Shadiq. Di sini, Syi`ah Imamiyyah kemudian terbagi menjadi dua:
Al-Isma`iliyyah : Kelompok ini berpendapat bahwa yang paling berhak mendapatkan posisi imam setelah Imam Jakfar Shadiq adalah putra tertuanya, yaitu Isma`il yang sebelumnya memang sudah mendapat wasiat, hanya disayangkan, Isma`il keburu meninggal sebelum Ayahnya. Sehingga posisi keimamannya harus berpindah ke tangan Muhammad al-Maktum (putra Isma`il). Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa bumi tidak akan pernah kosong dari seorang imam, baik secara zhahir maksyuf (nampak) atau bathin mastur (tersembunyi).
Al-Ja`fariyyah al-Itsna `Asyariyyah : Kelompok ini berpendapat bahwa yang paling berhak menjadi imam setelah Jakfar al-Shadiq adalah Putranya, yaitu Musa al-Kazhim, kemudian Ali al-Ridla, Muhammad al-Jawwad, Ali a-Hadi, Hasan al-Askari, Muhammad al-Mahdi yang merupakan salah satu imam dari al-Itsna `Asyariyyah yang meninggal tahun 260 H. Dalam keyakinan mereka, Muhammad al-Mahdi ini suatu saat akan lahir kembali dan mengisi dunia dengan keadilan setelah sebelumnya penuh maksiat. Dan hingga saat ini pun, mereka masih menunggu-nunggu kedatangan sang imam idaman dan pujaan mereka walaupun hingga kiamat nanti.
Sekilas Tentang Fikih Imamiyyah
Itulah sebagai kilasan sejarah lahirnya Syi`ah sebagai sebuah aliran yang ikut meramaikan dan menyemarakkan dunia Islam. Sejarah ini saya sebutkan kembali, bukan untuk apa-apa, hanya biar kita semua ingat bahwa setiap aliran mempunyai sejarahnya masing-masing. Sesungguhnya, contoh sejarah Syi`ah tak ubahnya seperti tempat kecil yang sempit, atau kosmos kecil yang di dalamnya berlangsung peristiwa-peristiwa yang padat sekali. Setiap sesuatu di dalamnya terlibat dalam pergulatan, secara khusus dikarenakan timbulnya ketegangan-ketegangan yang begitu tajam di dalamnya.
Namun, dalam makalah singkat ini tidak akan dihahas secara keseluruhan dan terperinci tentang Siy`ah dan berbagai kelompok yang ada dibawah naungannya, akan tetapi akan di fokuskan pada Syi`ah Imamiyyah sebagai salah satu madzhab penting yang lahir dari rahim aliran Syi`ah, terutama yang berkaitan dengan fikih sebagai aspek yang tidak boleh diabaikan dalam melakukan studi terhadap sebuah madzhab yang ada dalam Islam.
Adalah Imam Abu Abdillah Ja`far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Husain al-Sabth (80-148 H = 699-765) sebagai pendiri Madzhab Syi`ah Imamiyyah. Dan Abu Ja`far, Muhammad bin al-Hasan bin Farrukh al-Shifar al-`Araj al-Qummi, sebagai penyebar madzhab Syi`ah Imamiyyah dalam hal yang berkaitan dengan masalah-masalah fikih.
Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, aliran ini mempunyai keyakinan adanya dua belas Imam yang ma`shum (terjaga dari kesalahan). Dari sekian banyak Imam yang ada, yang pertama adalah Imam Ali al-Murtadla, kemudian yang terakhir adalah Muhammad al-Mahdi al-Hujjah, yang dianggap sebagai Imam yang mastur (tersebunyi) sekaligus sebagai Imam yang hingga saat ini masih ada (al-Imam al-Qa'im).
Dan Abu Ja`far Muhammad bin al-Hasan al-Farrukh adalah orang yang telah mengembangkan fikih Syi`ah Imamiyyah di Persia. Hal itu bisa kita lihat dalam kitabnya Basya'ir al-Darajat Fi `Ulum Ali Muhammad, Wa ma Khashshahum Allah Bihi (1285 H). Sebelum kitab ini, sebenarnya ada kitab lain yang merupakan kitab pertama dalam madzhab Syi`ah Imamiyyah. Kitab tersebut tak lain adalah Risalah Fi al-Halal Wa al-Haram karangan Ibrahim bin Muhammad Abi Yahya al-Madani al-Aslami, di mana isi dalam kita ini diriwayatkan dari Imam Ja`far Shadiq. Kemudian kitab-kitab lain yang merupakan karangan Imam Ali Ridla (1274 H). Baru setelah Abu Ja`far Muhammad bin al-Hasan al-Farrukh dilanjutkan oleh kitab ulama lainnya pada abad keempat, yaitu al-Kafi Fi `Ulum al-Din karangan Muhammad bin Ya`qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi, salah seorang masyayikh Syi`ah, dalam kitab ini terdapat enam belas ribu sembilan puluh sembilan hadis Alu al-Bait, jumlah ini melebihi jumlah hadis yang terdapat pada kitab-kitab hadis al-Shahhah al-Sittah (Bukhari, Muslim dan lain-lain).
Kelompok Syi`ah Imamiyyah, sebagaimana al-Zaidiyyah, dalam masalah-masalah Fikih, tidak banyak berpijak pada apapun setelah al-Qur'an, kecuali hanya kepada hadis-hadis yang memang diriwayatkan oleh para Imam dari Alu al-Bait. Mereka, disamping setuju dengan dibukanya pintu ijtihad, juga menolak ijma' jika di dalamnya tidak diikutsertakan salah satu dari imam mereka. Rujukan utama mereka dalam masalah-masalah hukum syari`at adalah para imam, tidak yang lainnya.
Jika dibandingkan dengan fikih Ahl Sunnah, Fikih Imamiyyah tidak banyak terdapat perbedaan kecuali sekitar tujuh belas permasalahan, di antaranya adalah dibolehkannya nikah mut`ah. Perbedaan mereka dalam masalah-masalah fikih, tidak menambah banyaknya perbedaan jika dibandingkan dengan perbedaan madzhab-madzhab fikih lainnya, misalnya al-Hanafiyyah dengan al-Syafi`iyyah. Madzhab ini banyak menyebar di Iran dan Irak. Jika ditinjau lebih jauh, pada dasarnya, perbedaan aliran Imamiyyah dengan Ahl Sunnah tidak terletak pada Akidah dan Fikih, akan tetapi lebih kepada aspek al-Hukumah (pemerintahan) dan al-Imamah (kepemimpinan). Mungkin hal lebih penting untuk diperhatikan adalah revolusi yang dilakukan al-Khumaini di Iran pada tahun 1979 M, di mana al-Kumaini ingin menghapus perbedaan dan perselisihan dengan Ahl Sunnah, dan menganggap kaum Muslimin, secara keseluruhan, adalah umat yang satu, seperti yang saat ini banyak kita harapkan.
Prinsip-prinsip Fikih Imamiyyah
Setiap aliran atau madzhab pasti mempunyai prinsip-prinsip yang diyakini sebagai patokan hidup dalam menjalan agama. Ada beberapa prinsip dalam madzhab Imamiyyah, yaitu :
- Thaharah: Mereka menganjurkan al-ghusl (mandi) dalam beberapa hal, yaitu ketika berziarah ke makam para Imam, pada pertengahan bulan Sya`ban, pada tanggal 19-20 Ramadlan, pada tanggal 18 Dzul Hijjah dan pada hari raya Niruz dengan dalih bahwa hal itu merupakan persetujuan terhadap proklamasi Rasulullah bagi kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib Ra. Dalam pandangan mereka, seorang yang meninggal dan bukan dari golongan Ja`fari, tidak wajib dimandikan. Demikian juga seorang yang mati Syahid yang tidak wajib dimandikan disyaratkan harus ber-istisyhad dengan salah seorang Imam.
- Azan: Mereka menambahkan ungkapan "hayya `ala khair al-`amal" (marilah berbuat sebaik-baiknya amal). Sebagian ada yang menambahkan "wa asyhadu anna `aliyyan waliyullah," sebagian lainnya ada yang menambahkan "asyhadu anna `aliyyan amir al-mu'minin wa awladuhu al-ma`shumin hujjatullah." Padahal menurut Muhsin al-Hakim, ungkapan-ungkapan itu bukan termasuk dari Azan, akan tetapi bukanlah merupakan hal buruk jika ditambahkan dalam Azan.
- Shalat: Mereka berkeyakinan bahwa shalat di masjid Kufah lebih afdlal dari pada shalat di masjid al-Aqsha, sebab Imam Ali bin Abi Thalib melakukan shalat di dalamnya. Dalam pandangan mereka, seorang yang mengimami shalat disyaratkan harus dari Mukmin Ja`fari. Bagi mereka, shalat janazah atas orang Muslim yang bukan Ja`fari, hukumnya tidak wajib. Sebagaimana mereka juga melihat bahwa shalat qashar boleh dilakukan kecuali pada empat masjid: Masjid al-Haram, masjid Rasulullah, masjid Kufah dan masjid al-Jabiri di Karbala.
- Puasa: Menurut mereka, syarat sahnya puasa adalah Iman dan Islam. Mereka sudah bersepakat, seperti yang dikatakan al-Hakim, bahwa puasa orang yang bukan Ja`fari tidak sah. Demikian juga, puasa pada hari al-Ghadir (18 Dzul Hijjah), pada hari al-Mubahalah dan pada hari `Asyura sebagai tanda kesedihan atas peristiwa pembantaian keturunan Imam Ali bin Abi Thalib, hukumnya adalah mandub.
- Zakat: Mereka mewajibkan zakat bagi kaum kafir, sebab sudah menjadi hak Imam untuk memungutnya secara paksa, akan tetapi karena kaum kafir tidak beriman, maka zakat yang mereka berikan tidak sah (tidak mendapat pahala apa-apa). Dan zakat itu sendiri tidak boleh dibagikan pada orang yang bukan Ja`fari, dan jika itu dilakukan, maka hal itu sudah menjadi bagian dari ta'lif al-qulub, seperti kepada kaum fasiq dan para pelaku dosa besar dikarenakan mereka masih merupakan orang-orang yang beriman. Mereka juga men-istihbab-kan pemberian zakat kepada Imam, jika hal itu dikehendakinya.
- al-Khums (seperlima atau 1/5): Mereka menjadikan al-Khums dalam sisa bahan makanan (perbekalan) setahun dari hasil industri, perdagangan dan pertanian fa`alaiha 20%. Menurut mereka, al-Khums dibagi-bagi menjadi menjadi enam: sahm untuk Allah, sahm untuk Nabi dan sahm untuk Imam al-Ja`fari, ketiga bagian tersebut menjadi hak imam mereka yang sudah tiada (imamuhum al-gha'ib), sedangkan sisanya diperuntukkan bagi para yatim piatu, orang-orang miskin dan abna' al-sabil (para musafir) dari kaum Ja`fariyyin. Mereka berpendapat bahwa hak Imam mereka yang tiada diberikan wakilnya, yaitu seorang fakih al-Mujtahid yang sudah memenuhi syarat, atau diberikan kepada orang-orang yang berhak (al-mustahiqqin), akan tetapi harus dengan izin fakih al-Mujtahid yang sudah menjadi wakil Imam.
Haji: al-Hakim berkata: "Tidak diragukan bahwa syarat sahnya ibadah adalah iman, dari itu, ibadah al-mukhalif (bukan dari Ja`fariyyah) adalah batil…….". Bagi kelompok ini, seorang Ja`fari tidak diperbolehkan berhaji sebagai perwakilan dari al-Mukhalif —Muslim Sunni— kecuali jika itu adalah ayahnya. Seandainya ada seorang Ja`fari mengucapkan nadzar ingin berhaji sebelum ia mampu melaksanakannya, ia harus menziarahi makam al-Husain di Arafah, sehingga ketika ia sudah mampu, maka ia tidak lagi wajib melakukan haji untuk memenuhi nadzar yang telah diucapkannya.
- Jihad: Dalam hal ini, bagi mereka, disyaratkan harus ada izin dari Imam atau perintah darinya
- Amar Ma`ruf Nahi Mungkar: Dibutuhkan izin dari Imam, demikian juga al-Hudud harus dilakukan oleh Imam sendiri, atau orang yang sudah mendapat mandat darinya sebagai perwakilan.
- Nikah Mut`ah: Sebagian besar dari mereka menyakini dibolehkannya nikah mut`ah. Akan tetapi ada sebagian lainnya yang mengingkarinya, bahkan melarangnya secara keras, alasannya karena: Haramnya nikah mut`ah sudah menjadi kesepakatan dua Imam besar, yaitu Abu Ja`far Muhammad bin al-Baqir dan Abu Abdillah Ja`far Shadiq. Diriwayatkan bahwa Imam Ja`far Shadiq mengatakan: Nikah mut`ah adalah zina merupakan hubungan yang dilarang oleh Allah dalam banyak ayat al-Qur'an (wa al-muhshanat ghair musafihat wa la muttakhidzat akhdzan).
Setelah Rasulullah Saw. menghadap keharibaan Tuhan, kaum Muslimin membai`at Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah setelah Rasul. Dan sebelum Abu Bakar wafat, beberapa sahabat melakukan musyawarah guna menentukan figur yang tepat untuk menggantikan posisi khalifah setelah Abu Bakar. Setelah melalui perdebatan yang cukup sengit, akhirnya mereka bersepakat menunjuk Umar bin Khatthab. Maka, tatkala Abu Bakar meninggal dunia, kaum Muslimin dengan serta-merta langsung membai`at Umar, tidak ada seorang pun yang menentang pembai`atan ini selain Sa`ad bin `Ibadah. Di akhir-akhir masa jabatannya, Umar memberi kepercayaan kepada enam orang sahabat yang dikenal dengan ahl al-hill wa al-`aqdi untuk menentukan khalifah setelahnya, mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Sa`ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin Auf. Pada akhirnya, mereka sepakat dengan menunjuk Utsman bin Affan.
Ketika terjadi petaka dengan terbunuhnya Utsman bin Affan, pandangan kaum Muslimin secara keseluruhan terpusat pada dua tokoh sahabat, yaitu Ali bin Thalib dan Mu`awiyah bin Abi Sufyan. Maka jalan yang ditempuh kemudian adalah al-tahkim (arbitrasi). Akan tetapi, nampaknya, hasil dari arbitrasi dinilai kurang memuaskan, sehingga kaum Muslimin terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama memihak kepada Ali bin Abi Thalib (Syi`ah), kelompok kedua memihak kepada Mu`awiyah bin Sufyan, dan kelompok ketiga memilih tidak memihak pada keduanya (Khawarij).
Kelompok Khawarij mempunyai pendapat tersendiri dalam masalah imamah, mereka mengatakan bahwa seorang imam harus dipilih secara bebas oleh kaum Muslimin, dan kalau sudah terpilih, sepanjang masih benar-benar menerapkan keadilan, maka ia tidak boleh ditentang, jika seandainya ada yang menentangnya, harus diperangi, demikian juga jika imam itu sudah bertindak di luar batas keadilan. Sebagian dari kelompok ini ada yang berpendapat tidak wajibnya imamah, bahkan ada sebagian lainnya yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin (imam), selama perempuan itu memang memiliki kemampuan selayaknya.
Sementara itu, kelompok Syi`ah juga tidak ketinggalan, di mana mereka berpendapat bahwa imamah adalah wajib adanya. Namun pendapat mereka dalam hal imamah ini berlainan dengan pendapat umum kaum Muslimin. Sebagian dari mereka ada yang berpendapat bahwa imamah tidak dibolehkan kecuali dari keturunan Fathimah. Sebagian yang lain, yaitu Syi`ah Imamiyyah, berpendapat bahwa imamah merupakan ketentuan Tuhan bagi yang berhak berdasarkan pengetahuan-Nya, di mana Tuhan menyuruh kepada Nabi dan umat-Nya untuk menunjuk tokoh yang pantas. Mereka juga mengatakan bahwa Tuhan sudah menyuruh Nabi Muhammad untuk menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin bagi kaum Muslimin setelahnya, akan tetapi rupanya kaum Muslimin tidak mematuhi perintah tersebut. Dalam pandangan mereka, imamah merupakan salah satu rukun agama. Sebagaimana mereka juga melihat bahwa imamah dimulai dari Ali, setelah itu Hasan, Husen, Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, kemudain Ja`far al-Shadiq. Di sini, Syi`ah Imamiyyah kemudian terbagi menjadi dua:
Al-Isma`iliyyah : Kelompok ini berpendapat bahwa yang paling berhak mendapatkan posisi imam setelah Imam Jakfar Shadiq adalah putra tertuanya, yaitu Isma`il yang sebelumnya memang sudah mendapat wasiat, hanya disayangkan, Isma`il keburu meninggal sebelum Ayahnya. Sehingga posisi keimamannya harus berpindah ke tangan Muhammad al-Maktum (putra Isma`il). Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa bumi tidak akan pernah kosong dari seorang imam, baik secara zhahir maksyuf (nampak) atau bathin mastur (tersembunyi).
Al-Ja`fariyyah al-Itsna `Asyariyyah : Kelompok ini berpendapat bahwa yang paling berhak menjadi imam setelah Jakfar al-Shadiq adalah Putranya, yaitu Musa al-Kazhim, kemudian Ali al-Ridla, Muhammad al-Jawwad, Ali a-Hadi, Hasan al-Askari, Muhammad al-Mahdi yang merupakan salah satu imam dari al-Itsna `Asyariyyah yang meninggal tahun 260 H. Dalam keyakinan mereka, Muhammad al-Mahdi ini suatu saat akan lahir kembali dan mengisi dunia dengan keadilan setelah sebelumnya penuh maksiat. Dan hingga saat ini pun, mereka masih menunggu-nunggu kedatangan sang imam idaman dan pujaan mereka walaupun hingga kiamat nanti.
Sekilas Tentang Fikih Imamiyyah
Itulah sebagai kilasan sejarah lahirnya Syi`ah sebagai sebuah aliran yang ikut meramaikan dan menyemarakkan dunia Islam. Sejarah ini saya sebutkan kembali, bukan untuk apa-apa, hanya biar kita semua ingat bahwa setiap aliran mempunyai sejarahnya masing-masing. Sesungguhnya, contoh sejarah Syi`ah tak ubahnya seperti tempat kecil yang sempit, atau kosmos kecil yang di dalamnya berlangsung peristiwa-peristiwa yang padat sekali. Setiap sesuatu di dalamnya terlibat dalam pergulatan, secara khusus dikarenakan timbulnya ketegangan-ketegangan yang begitu tajam di dalamnya.
Namun, dalam makalah singkat ini tidak akan dihahas secara keseluruhan dan terperinci tentang Siy`ah dan berbagai kelompok yang ada dibawah naungannya, akan tetapi akan di fokuskan pada Syi`ah Imamiyyah sebagai salah satu madzhab penting yang lahir dari rahim aliran Syi`ah, terutama yang berkaitan dengan fikih sebagai aspek yang tidak boleh diabaikan dalam melakukan studi terhadap sebuah madzhab yang ada dalam Islam.
Adalah Imam Abu Abdillah Ja`far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Husain al-Sabth (80-148 H = 699-765) sebagai pendiri Madzhab Syi`ah Imamiyyah. Dan Abu Ja`far, Muhammad bin al-Hasan bin Farrukh al-Shifar al-`Araj al-Qummi, sebagai penyebar madzhab Syi`ah Imamiyyah dalam hal yang berkaitan dengan masalah-masalah fikih.
Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, aliran ini mempunyai keyakinan adanya dua belas Imam yang ma`shum (terjaga dari kesalahan). Dari sekian banyak Imam yang ada, yang pertama adalah Imam Ali al-Murtadla, kemudian yang terakhir adalah Muhammad al-Mahdi al-Hujjah, yang dianggap sebagai Imam yang mastur (tersebunyi) sekaligus sebagai Imam yang hingga saat ini masih ada (al-Imam al-Qa'im).
Dan Abu Ja`far Muhammad bin al-Hasan al-Farrukh adalah orang yang telah mengembangkan fikih Syi`ah Imamiyyah di Persia. Hal itu bisa kita lihat dalam kitabnya Basya'ir al-Darajat Fi `Ulum Ali Muhammad, Wa ma Khashshahum Allah Bihi (1285 H). Sebelum kitab ini, sebenarnya ada kitab lain yang merupakan kitab pertama dalam madzhab Syi`ah Imamiyyah. Kitab tersebut tak lain adalah Risalah Fi al-Halal Wa al-Haram karangan Ibrahim bin Muhammad Abi Yahya al-Madani al-Aslami, di mana isi dalam kita ini diriwayatkan dari Imam Ja`far Shadiq. Kemudian kitab-kitab lain yang merupakan karangan Imam Ali Ridla (1274 H). Baru setelah Abu Ja`far Muhammad bin al-Hasan al-Farrukh dilanjutkan oleh kitab ulama lainnya pada abad keempat, yaitu al-Kafi Fi `Ulum al-Din karangan Muhammad bin Ya`qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi, salah seorang masyayikh Syi`ah, dalam kitab ini terdapat enam belas ribu sembilan puluh sembilan hadis Alu al-Bait, jumlah ini melebihi jumlah hadis yang terdapat pada kitab-kitab hadis al-Shahhah al-Sittah (Bukhari, Muslim dan lain-lain).
Kelompok Syi`ah Imamiyyah, sebagaimana al-Zaidiyyah, dalam masalah-masalah Fikih, tidak banyak berpijak pada apapun setelah al-Qur'an, kecuali hanya kepada hadis-hadis yang memang diriwayatkan oleh para Imam dari Alu al-Bait. Mereka, disamping setuju dengan dibukanya pintu ijtihad, juga menolak ijma' jika di dalamnya tidak diikutsertakan salah satu dari imam mereka. Rujukan utama mereka dalam masalah-masalah hukum syari`at adalah para imam, tidak yang lainnya.
Jika dibandingkan dengan fikih Ahl Sunnah, Fikih Imamiyyah tidak banyak terdapat perbedaan kecuali sekitar tujuh belas permasalahan, di antaranya adalah dibolehkannya nikah mut`ah. Perbedaan mereka dalam masalah-masalah fikih, tidak menambah banyaknya perbedaan jika dibandingkan dengan perbedaan madzhab-madzhab fikih lainnya, misalnya al-Hanafiyyah dengan al-Syafi`iyyah. Madzhab ini banyak menyebar di Iran dan Irak. Jika ditinjau lebih jauh, pada dasarnya, perbedaan aliran Imamiyyah dengan Ahl Sunnah tidak terletak pada Akidah dan Fikih, akan tetapi lebih kepada aspek al-Hukumah (pemerintahan) dan al-Imamah (kepemimpinan). Mungkin hal lebih penting untuk diperhatikan adalah revolusi yang dilakukan al-Khumaini di Iran pada tahun 1979 M, di mana al-Kumaini ingin menghapus perbedaan dan perselisihan dengan Ahl Sunnah, dan menganggap kaum Muslimin, secara keseluruhan, adalah umat yang satu, seperti yang saat ini banyak kita harapkan.
Prinsip-prinsip Fikih Imamiyyah
Setiap aliran atau madzhab pasti mempunyai prinsip-prinsip yang diyakini sebagai patokan hidup dalam menjalan agama. Ada beberapa prinsip dalam madzhab Imamiyyah, yaitu :
- Thaharah: Mereka menganjurkan al-ghusl (mandi) dalam beberapa hal, yaitu ketika berziarah ke makam para Imam, pada pertengahan bulan Sya`ban, pada tanggal 19-20 Ramadlan, pada tanggal 18 Dzul Hijjah dan pada hari raya Niruz dengan dalih bahwa hal itu merupakan persetujuan terhadap proklamasi Rasulullah bagi kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib Ra. Dalam pandangan mereka, seorang yang meninggal dan bukan dari golongan Ja`fari, tidak wajib dimandikan. Demikian juga seorang yang mati Syahid yang tidak wajib dimandikan disyaratkan harus ber-istisyhad dengan salah seorang Imam.
- Azan: Mereka menambahkan ungkapan "hayya `ala khair al-`amal" (marilah berbuat sebaik-baiknya amal). Sebagian ada yang menambahkan "wa asyhadu anna `aliyyan waliyullah," sebagian lainnya ada yang menambahkan "asyhadu anna `aliyyan amir al-mu'minin wa awladuhu al-ma`shumin hujjatullah." Padahal menurut Muhsin al-Hakim, ungkapan-ungkapan itu bukan termasuk dari Azan, akan tetapi bukanlah merupakan hal buruk jika ditambahkan dalam Azan.
- Shalat: Mereka berkeyakinan bahwa shalat di masjid Kufah lebih afdlal dari pada shalat di masjid al-Aqsha, sebab Imam Ali bin Abi Thalib melakukan shalat di dalamnya. Dalam pandangan mereka, seorang yang mengimami shalat disyaratkan harus dari Mukmin Ja`fari. Bagi mereka, shalat janazah atas orang Muslim yang bukan Ja`fari, hukumnya tidak wajib. Sebagaimana mereka juga melihat bahwa shalat qashar boleh dilakukan kecuali pada empat masjid: Masjid al-Haram, masjid Rasulullah, masjid Kufah dan masjid al-Jabiri di Karbala.
- Puasa: Menurut mereka, syarat sahnya puasa adalah Iman dan Islam. Mereka sudah bersepakat, seperti yang dikatakan al-Hakim, bahwa puasa orang yang bukan Ja`fari tidak sah. Demikian juga, puasa pada hari al-Ghadir (18 Dzul Hijjah), pada hari al-Mubahalah dan pada hari `Asyura sebagai tanda kesedihan atas peristiwa pembantaian keturunan Imam Ali bin Abi Thalib, hukumnya adalah mandub.
- Zakat: Mereka mewajibkan zakat bagi kaum kafir, sebab sudah menjadi hak Imam untuk memungutnya secara paksa, akan tetapi karena kaum kafir tidak beriman, maka zakat yang mereka berikan tidak sah (tidak mendapat pahala apa-apa). Dan zakat itu sendiri tidak boleh dibagikan pada orang yang bukan Ja`fari, dan jika itu dilakukan, maka hal itu sudah menjadi bagian dari ta'lif al-qulub, seperti kepada kaum fasiq dan para pelaku dosa besar dikarenakan mereka masih merupakan orang-orang yang beriman. Mereka juga men-istihbab-kan pemberian zakat kepada Imam, jika hal itu dikehendakinya.
- al-Khums (seperlima atau 1/5): Mereka menjadikan al-Khums dalam sisa bahan makanan (perbekalan) setahun dari hasil industri, perdagangan dan pertanian fa`alaiha 20%. Menurut mereka, al-Khums dibagi-bagi menjadi menjadi enam: sahm untuk Allah, sahm untuk Nabi dan sahm untuk Imam al-Ja`fari, ketiga bagian tersebut menjadi hak imam mereka yang sudah tiada (imamuhum al-gha'ib), sedangkan sisanya diperuntukkan bagi para yatim piatu, orang-orang miskin dan abna' al-sabil (para musafir) dari kaum Ja`fariyyin. Mereka berpendapat bahwa hak Imam mereka yang tiada diberikan wakilnya, yaitu seorang fakih al-Mujtahid yang sudah memenuhi syarat, atau diberikan kepada orang-orang yang berhak (al-mustahiqqin), akan tetapi harus dengan izin fakih al-Mujtahid yang sudah menjadi wakil Imam.
Haji: al-Hakim berkata: "Tidak diragukan bahwa syarat sahnya ibadah adalah iman, dari itu, ibadah al-mukhalif (bukan dari Ja`fariyyah) adalah batil…….". Bagi kelompok ini, seorang Ja`fari tidak diperbolehkan berhaji sebagai perwakilan dari al-Mukhalif —Muslim Sunni— kecuali jika itu adalah ayahnya. Seandainya ada seorang Ja`fari mengucapkan nadzar ingin berhaji sebelum ia mampu melaksanakannya, ia harus menziarahi makam al-Husain di Arafah, sehingga ketika ia sudah mampu, maka ia tidak lagi wajib melakukan haji untuk memenuhi nadzar yang telah diucapkannya.
- Jihad: Dalam hal ini, bagi mereka, disyaratkan harus ada izin dari Imam atau perintah darinya
- Amar Ma`ruf Nahi Mungkar: Dibutuhkan izin dari Imam, demikian juga al-Hudud harus dilakukan oleh Imam sendiri, atau orang yang sudah mendapat mandat darinya sebagai perwakilan.
- Nikah Mut`ah: Sebagian besar dari mereka menyakini dibolehkannya nikah mut`ah. Akan tetapi ada sebagian lainnya yang mengingkarinya, bahkan melarangnya secara keras, alasannya karena: Haramnya nikah mut`ah sudah menjadi kesepakatan dua Imam besar, yaitu Abu Ja`far Muhammad bin al-Baqir dan Abu Abdillah Ja`far Shadiq. Diriwayatkan bahwa Imam Ja`far Shadiq mengatakan: Nikah mut`ah adalah zina merupakan hubungan yang dilarang oleh Allah dalam banyak ayat al-Qur'an (wa al-muhshanat ghair musafihat wa la muttakhidzat akhdzan).